Poligami (7): Bersikaplah Adil, Wahai Suami!!!

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280


BERSIKAPLAH ADIL, WAHAI SUAMI!

 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Siapa saja orangnya yang mempunyai dua istri kemudian lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari selesai zaman kelak ia akan tiba dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.”

Takhrij Hadits Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (No. 2133), An-Nasa’i (2/157), Tirmidzi (1/213), Ad-Darimi (2/143), Ibnu Majah (1969), Ibnu Abi Syaibah (2/66/7), Ibnul Jarud (No. 722), Ibnu Hibban (No. 1307), Al-Hakim (2/186), Al-Baihaqi (7/297), Ath-Thayalisi (No. 2454), dan Ahmad (2/347, 471) melalui jalur Hammam bin Yahya, dari Qatadah, dari An-Nadhr bin Anas, dari Basyir bin Nuhaik, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.
Di dalam Sunan at-Tirmidzi, hadits di atas diriwayatkan dengan lafadz,

إِذَا كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ امْرَأَتَانِ فَلَمْ يَعْدِلْ بَيْنَهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ سَاقِطٌ

“Apabila seorang pria mempunyai dua istri namun tidak berlaku adil di antara keduanya, pada hari selesai zaman kelak ia akan tiba dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.”

Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Al-Hakim menghukumi hadits ini sahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain (al-Bukhari & Muslim). Adz-Dzahabi dan Ibnu Daqiqil ‘Ied setuju dengan al-Hakim, sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh dalam at-Talkhis (3/201) dan ia
pun menyepakatinya.
Al-Hafizh menambahkan bahwa al-Imam at-Tirmidzi menghukumi hadits ini gharib padahal ia sendiri menyatakannya sahih. Abdul Haq mengatakan, ‘Hadits ini tsabit, namun ada cacatnya, yaitu Hammam sendirian meriwayatkannya.’
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Cacat semacam ini tidak menciptakan hadits menjadi lemah. Oleh lantaran itu, para ulama secara berturut-turut menyatakannya sahih.” (Silsilah ash- Shahihah No. 2017, al-Albani)

Islam Menjunjung Nilai-Nilai Keadilan

Islam sangat menjunjung nilai-nilai keadilan. Bahkan, keadilan menjadi salah satu pilar penting bagi seorang hamba untuk mewujudkan bangunan Islam. Sikap adil, berdasarkan asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah, ialah menunaikan hak-hak yang wajib dan memenuhi hak bagi yang memilikinya.
Ada juga yang memaknai adil sebagai perilaku memilih aturan sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,, bukan semata-mata berdasarkan nalar pikiran. Dalam memutuskan perkara, keadilan mesti menjadi landasan berpijak. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

إِذَا حَكَمْتُمْ فَاعْدِلُوْا

“Apabila kalian memutuskan aturan maka bersikaplah adil!” (Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [No. 469])

Bahkan, bagi orang tua, perilaku adil haruslah mendasari setiap perhatian kepada anaknya. Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita, “Aku pernah diberi sesuatu oleh ayahku. ‘Amrah bintu Rawahah (ibunya) lantas berkata (kepada ayahku), ‘Aku tidak rela (dengan pertolongan ini) hingga engkau meminta persaksian dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,.’ Lantas ayahku menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menyampaikan, ‘Sesungguhnya saya memberi sesuatu kepada salah seorang anakku, anak dari ‘Amrah bintu Rawahah.
Amrah menuntutku untuk meminta Anda sebagai saksi, wahai Rasulullah.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah engkau memberi seluruh anakmu ibarat yang engkau berikan kepada anak itu?’ Ayahku menjawab, ‘Tidak.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ فَاتَّقُوا اللهَ وَ

‘Bertakwalah kalian kepada Tuhan dan bersikaplah adil di antara anakanak kalian!’
Akhirnya ayahku pulang dan mengambil kembali pertolongan itu.” (HR. Bukhari 5/2587)

Mengenai bentuk-bentuk keadilan, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskannya berkenaan dengan ayat Tuhan Subhanahu wata’ala di dalam surat an-Nahl, yaitu firman-Nya,
“Sesungguhnya Tuhan menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat. Dan Tuhan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu biar kau sanggup mengambil pelajaran.”(QS An-Nahl: 90)

Beliau rahimahullah membuktikan , “Kewajiban hamba ialah bersikap adil terhadap diri sendiri, keluarga, dan orang
-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Bersikap adil terhadap diri sendiri artinya tidak memaksakan diri untuk melaksanakan hal-hal yang tidak diperintahkan oleh Tuhan Subhanahu wata’ala.
Bahkan, ia pun harus memerhatikan diri sendiri ketika melaksanakan kebaikan, dengan cara tidak melakukannya melebihi batas kemampuan. Oleh alasannya itu, ketika Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma menyatakan, ‘Aku akan berpuasa terus dan tidak akan berbuka. Aku akan shalat malam terus dan tidak akan tidur’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, memanggilnya dan melarang hal itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Sesungguhnya dirimu sendiri mempunyai hak, Rabbmu juga mempunyai hak, dan keluargamu pun mempunyai hak. Maka dari itu, berikanlah hak masing-masing.’

Demikian juga seorang suami, ia harus bersikap adil di tengah-tengah keluarga. Siapa saja yang mempunyai lebih dari satu istri, ia harus bersikap adil di antara para istrinya. Sebab, seorang suami yang lebih cenderung kepada salah satu istri, ia akan tiba pada hari selesai zaman dalam keadaan miring sebelah tubuhnya.
Sikap adil juga wajib diwujudkan di antara anak-anak. Jika Anda memberi satu real kepada salah seorang di antara mereka, berikan juga senilai itu kepada yang lain. Jika engkau memberi dua real kepada anak laki-laki, berikanlah satu real kepada anak perempuan. Jika engkau memperlihatkan satu real kepada anak laki-laki, berikanlah setengah real kepada anak perempuan.
Bahkan, ulama salaf memerhatikan perilaku adil di antara bawah umur dalam hal ciuman. Jika ia mencium anaknya yang masih kecil sementara kakaknya ada di situ, ia pun menciumnya juga. Jadi, ia tidak membeda-bedakan di antara mereka dalam hal ciuman.
Demikian juga dalam hal berbicara, jangan hingga Anda berbicara dengan seorang anak dengan nada yang kasar, sedangkan kepada anak yang lain dengan nada yang lembut. Sikap adil harus juga dijunjung kepada orang-orang yang berafiliasi dengan kita. Jangan Anda berpihak kepada seseorang hanya lantaran ia ialah kerabat, orang kaya, orang fakir, atau seorang teman. Jangan berpihak kepada seseorang, semua orang sama kedudukannya.
Sesungguhnya para ulama rahimahumullah mengatakan, ‘Harus bersikap adil kepada dua orang yang sedang berseteru, kalau mereka berhukum kepada seorang hakim, dalam hal tutur kata, perhatian, pembicaraan, daerah duduk, dan cara masuknya. Jangan engkau memandang kepada salah satunya dengan pandangan marah, namun kepada yang lain dengan pandangan senang.
Jangan engkau berbicara dengan nada lembut kepada salah seorang di antara mereka, namun kepada yang lain sebaliknya. Jangan hingga Anda bertanya kepada salah seorang di antara mereka, ‘Apa kabarmu? Apa kabar keluargamu? Bagaimana kabar anak-anakmu?’, namun orang kedua engkau biarkan tanpa pertanyaan. Bersikaplah adil di antara keduanya. Sampai serinci ini. Demikian juga dalam hal daerah duduk. Jangan Anda mempersilakan salah seorang darinya duduk erat di sebelah kananmu sementara yang lain berada jauh darimu. Namun, posisikan mereka berdua di hadapanmu dalam garis yang sama. Bahkan, kalau ada seorang muslim bertengkar dengan orang kafir di hadapan seorang hakim, ia harus bersikap adil di antara keduanya dalam pembicaraan, cara memandang, dan posisi duduk. Jangan hingga ia menyampaikan kepada si muslim, ‘Kemarilah!’ sementara si kafir diposisikan jauh. Namun, ia harus memperlihatkan daerah yang sama. Kesimpulannya, perilaku adil harus dijunjung dalam segala hal. (Syarah Riyadhus Shalihin, al-Utsaimin)

Bersikap Adil kepada Istri

Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad membuktikan makna hadits di atas, “… Dengan bersikap adil kepada para istri dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan pergaulan. Adapun perasaan yang ada di dalam hati, hal ini di luar kemampuan insan dan dikembalikan kepada Tuhan Subhanahu wata’ala. Meski demikian, seorang suami dihentikan bersikap lebih cenderung kepada istri yang paling ia sayangi dan cintai. Ia harus bersikap adil dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan segala sesuatu yang ia mampu.
Adapun perasaan di hati, tidak ada yang bisa menentukannya selain Tuhan k. Akan tetapi, tidak sepantasnya seorang suami lebih condong kepada salah seorang istrinya. Yang seharusnya ia lakukan ialah memenuhi hak masingmasing tanpa menyakiti istri yang lain.
Membagi di antara istri dilakukan sebatas kemampuan yang ia miliki. Jika ada kecenderungan kepada salah seorang istri, hendaknya ia tetap bertakwa kepada Tuhan Subhanahu wata’ala biar perilaku tersebut tidak mendorongnya untuk menghilangkan atau mengurangi hak istri lainnya, atau hanya memperlihatkan sedikit saja dari hak mereka padahal ia mampu. Kewajiban suami ialah bersikap adil dan seimbang di antara para istri.”
Asy – Syaikh Abdul Muhsin melanjutkan, “Abu Dawud membawakan hadits Abu Hurairah di atas untuk memperlihatkan bahwa jawaban yang diperoleh seorang hamba sesuai dengan jenis amalan yang ia perbuat. Pada hari selesai zaman kelak, ia tiba dengan sebelah tubuh yang miring lantaran ketika di dunia ia lebih condong kepada salah seorang istri. Hal ini berlaku pada hal-hal yang bahwasanya ia bisa untuk bersikap adil, namun ia justru bersikap tidak sepantasnya. Orang semacam ini akan tiba pada hari selesai zaman kelak dengan sebelah tubuh yang miring.” (Syarah Abu Dawud, al-Abbad)

Oleh alasannya itu, seorang muslim yang mempunyai lebih dari seorang istri harus benar-benar berjuang untuk bersikap adil. Alangkah beratnya eksekusi dari Tuhan Subhanahu wata’ala yang harus dijalani pada hari selesai zaman nanti apabila perilaku adil tersebut tidak diupayakan dengan maksimal. Dalam hal-hal yang sanggup diberlakukan perilaku adil, seorang suami harus bisa memberikannya.
Apabila kepada salah seorang istri ia sanggup bersikap romantis dengan kata-kata dan wajah berseri, kepada istri yang lain pun harus bersikap demikian. Memberikan waktu senggang untuk berbincangbincang harus sanggup terwujud kepada semua istri. Hadiah tidak hanya diberikan kepada salah seorang istri, namun kepada seluruh istri. Demikian pula halnya perhatian kepada anak-anaknya, haruslah sama antara anak dari istri yang satu dengan istri lainnya.
Perhatikanlah pola dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,! Betapa pun dirasa berat, ia tetap berjuang untuk bersikap adil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetap memerhatikan waktu menggilir meskipun ia sedang sakit. Padahal keadaan ia benar-benar payah.
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari ‘Aisyah  bahwa pada ketika sakit yang berujung wafatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menanyakan,

أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟

“Di manakah saya besok? Di manakah saya besok?”

Beliau berharap di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Istri-istri ia yang lain pun mengizinkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hingga meninggalnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada Urwah bin az-Zubair rahimahullah, “Dahulu, Rasulullah tidak melebihkan salah seorang di antara kami (para istri) dalam jadwal giliran bermalam.
Dahulu, kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, jarang sekali hari berlalu kecuali ia niscaya berkeliling di antara kami semua. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mendekati tiap istri tanpa berafiliasi hingga pada istri yang mempunyai giliran kemudian menginap (bermalam) di sana. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama ihwal wajibnya menggilir dan kesamaan waktu untuk menggilir di antara para istri.”
Adapun dalam hal besar kecilnya rasa cinta dan ketertarikan untuk berafiliasi badan, hal ini di luar kemampuan hamba. sebagaimana tercelanya orang yangmmemakai dua potong pakaian kedustaan (al-Minhaj, 14/336).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memperlihatkan permisalan seperti dalam hadits di atas biar paramperempuan menjauhi perbuatan tersebut, karena akhir yang ditimbulkannya tidaklah remeh. Perbuatan itu bisammerusak korelasi suami dengan simmadu yang dipanas-panasi dan bisa membuat kebencian di antara keduanya, sehingga perbuatan tersebut ibarat sihir yang bisa memisahkan antara suami dan istrinya. (Fathul Bari 9/394—395).

 Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.



Sumber http://kangdaengnaba.blogspot.com/
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Poligami (7): Bersikaplah Adil, Wahai Suami!!!"

Posting Komentar