ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
SYARIAT POLIGAMI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, terbitan Balai Pustaka, istilah POLIGAMI tidak khusus untuk pihak lelaki, alasannya definisi poligami ialah sistem perkawinan yang salah satu pihak mempunyai atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Justru ada istilah lain yang khusus bagi lelaki, namun jarang kita pakai, yaitu poligini, yang bermakna sistem perkawinan yang membolehkan seorang laki-laki mempunyai beberapa perempuan sebagai istrinya di waktu yang bersamaan. (hlm. 885—886)
Namun, alasannya ada istilah poliandri untuk perempuan yang bersuami lebih dari satu, jadilah poligami digunakan untuk lelaki. Apa pun istilahnya, tidak menjadi masalah. Yang penting, makna yang kita maksud ialah lelaki menikahi lebih dari satu wanita; dua, tiga, atau paling banyak empat istri, yang dalam bahasa Arab disebut ta’addud az-zaujat, atau dalam bahasa keseharian kita biasa disingkat dengan ta’addud.
Pensyariatan Poligami
Syriat tentang poligami ditunjukkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’. Dalil dari al-Qur’an, Tuhan Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan yatim (bila kalian menikahinya), nikahilah wanita-wanita lain yang halal bagi kalian untuk dinikahi; (apakah) dua, tiga, atau empat. Namun, apabila kalian khawatir tidak bisa berlaku adil (di antara para istri bila hingga kalian mempunyai lebih dari satu istri), nikahilah satu istri saja atau mencukupkan dengan budak perempuan yang kalian miliki. Hal itu lebih akrab kepada tidak berbuat aniaya.” (QS An-Nisa: 3)
Dalam konteks ayat di atas, Tuhan Subhanahu wata’ala menyatakan,
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ
Maksudnya, nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang halal bagi kalian untuk dinikahi sejumlah yang disebutkan. (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 1/561—562) Hal ini memperlihatkan faedah bolehnya beristri hingga empat orang. Tuhan Subhanahu wata’ala sama sekali tidak membatasi istri itu harus satu, terkecuali bagi mereka yang tidak sanggup atau khawatir tidak bisa berbuat adil di antara para istri. Adapun lafadz, فَانكِحُوا
yang berupa fi’il amr (kata kerja perintah) tidaklah memperlihatkan wajibnya berbilang istri, tetapi memperlihatkan pembolehan. Jadi, perintah pada ayat di atas bukanlah lil wujub (untuk mewajibkan), melainkan lil ibahah (untuk membolehkan). Demikian pendapat lebih banyak didominasi fuqaha, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir ath-Thabari (3/580), Badai’u ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’ (al-Kasani, 1/597), al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (an-Nawawi, 17/202), dan selainnya.
yang berupa fi’il amr (kata kerja perintah) tidaklah memperlihatkan wajibnya berbilang istri, tetapi memperlihatkan pembolehan. Jadi, perintah pada ayat di atas bukanlah lil wujub (untuk mewajibkan), melainkan lil ibahah (untuk membolehkan). Demikian pendapat lebih banyak didominasi fuqaha, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir ath-Thabari (3/580), Badai’u ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’ (al-Kasani, 1/597), al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (an-Nawawi, 17/202), dan selainnya.
Adapun dalil dari as-Sunnah ialah sebagai berikut:
1. Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Ghailan ibnu Salamah ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu masuk Islam dalam keadaan ia mempunyai sepuluh istri yang dinikahinya di masa jahiliah. Para istrinya juga masuk Islam bersamanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memerintah Ghailan menentukan empat dari mereka (dan menceraikan yang lain). (Sunan at-Tirmidzi no. 1128, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Setelah membawakan hadits di atas, al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Yang diamalkan ialah hadits Ghailan ibnu Salamah ini, berdasarkan ulama hadits teman-teman kami, di antaranya asy- Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Sunan at-Tirmidzi, kitab an-Nikah, cuilan “Ma Ja’a fir Rajul Yuslim wa ‘Indahu ‘Asyru Niswah”)
2. Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Qais ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku masuk Islam, sementara saya beristri delapan. Aku pun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan kepada dia wacana hal itu. Beliau pun bersabda:
اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
‘Pilih empat dari mereka’.” (No. 1952, dinyatakan hasan dalam Shahih Ibnu Majah dan Irwa’ul Ghalil no. 1885)
Dalam konteks hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang yang tidak pernah berucap dari hawa nafsunya tetapi dari wahyu, memerintah para sahabatnya yang berislam dalam keadaan mempunyai istri lebih dari empat untuk menentukan empat dari para istrinya dan mencerai yang lainnya. Sementara itu, asal perintah ialah wajib wacana larangan beristri lebih dari empat dan bolehnya poligami hingga empat, berdasar firman Tuhan Subhanahu wata’ala,
مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“(Apakah) dua, tiga, atau empat.”
Sunnah Taqririyah Penetapan dan diamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap poligami yang dilakukan oleh sebagian sahabat beliau, di antaranya sahabat yang paling akrab dan paling dicintai oleh beliau, Abu Bakr ash- Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, yang beristri lebih dari satu. Sementara itu, taqrir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga termasuk tasyri’ (berlaku sebagai syariat).
Adapun dalil dari ijma’ ahlul ilmi dari kalangan sahabat, tabi’in, dan mazhab yang empat; al-Ahnaf (Hanafi), Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan Ibnu Hazm dari kalangan Zhahiri, setuju membolehkan poligami hingga empat istri, selama memenuhi syarat-syarat ijab kabul poligami yang akan disebutkan nanti, insya Allah.
Dari dalil-dalil yang menjelaskan wacana syariat poligami di atas, para ulama ada yang menganggap aturan asalnya mubah dan ada pula yang memandang sebagai suatu amalan sunnah/mustahab. Yang menganggapnya mustahab berdalil dengan beberapa hadits dan atsar yang memperlihatkan sunnahnya, seperti:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَزَّوَجُّوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Nikahilah oleh kalian perempuan yang penyayang (cinta kepada suaminya) lagi subur rahimnya, alasannya sungguh saya berbangga-bangga di hadapan umat-umat yang lain dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dari sahabat Ma’qil bin Yasar z, dinyatakan hasan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Salah satu cara memperbanyak keturunan ialah dengan menikahi banyak perempuan hingga batasan empat.
2. Hadits yang berbunyi,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
“Pada kemaluan salah seorang kalian ada sedekah.” (HR. Muslim no. 2326 dari Abu Dzar al-Ghifari)
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِ حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمُ النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَتْ
“Dicintakan kepadaku dari dunia kalian ialah (cinta) kepada para wanita/ istri dan minyak wangi, serta dijadikan penyejuk mataku dalam shalat.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya, 3/285, an-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa, dari Anas bin Malik z, dinyatakan sahih dalam Shahihul Jami’ no. 3124 dan al-Misykat No. 5261)
4. Said bin Jubair rahimahullah pernah ditanya oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Apakah engkau sudah menikah?” “Belum,” jawabnya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu kemudian berkata,
فَتَزَوَّجْ فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً
“Menikahlah, alasannya sebaik-baik umat ini ialah orang yang paling banyak istrinya. (HR. al-Bukhari No. 5069)
Semua dalil di atas dan beberapa dalil lain yang tidak kita sebutkan di sini, dijadikan sandaran oleh mereka yang beropini disunnahkannya memperbanyak istri, DENGAN SYARAT SI SUAMI MAMPU BERLAKU ADIL DI ANTARA ISTRI-ISTRINYA, alasannya Tuhan Subhanahu wata’ala menyatakan
“Namun, bila kalian khawatir tidak bisa berlaku adil (di antara para istri bila hingga kalian mempunyai lebih dari satu istri) maka nikahilah satu istri saja atau mencukupkan dengan budak perempuan yang kalian miliki. Hal itu lebih akrab semoga kalian tidak berbuat aniaya.” (QS An-Nisa: 3)
Pada poligami, dengan melihat pelakunya, bisa diberlakukan juga aturan yang lima, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram, sebagaimana aturan nikah yang pertama. Untuk keterangan wacana aturan yang lima ini, silakan melihat kembali pembahasan kajian utama di majalah Asy-Syariah Vol. IV/ no. 39/1429 H/2008, dengan judul Menikah dengan Aturan Islam, subjudul Hukum Nikah (hlm. 12—13), wallahu a’lam.
Poligami yang mubah dan sunnah telah disebutkan di atas.
Poligami menjadi wajib bila tidak berpoligami justru menjadikan seseorang terjatuh pada kasus yang haram atau membuatnya terhalang dari melakukan kewajiban. Misalnya, ia mempunyai seorang istri, namun tidak mencukupinya (dari menginginkan perempuan lain) sehingga dikhawatirkan ia terjatuh pada perbuatan zina. Sementara itu, ia bisa memenuhi syarat ijab kabul poligami. Dalam keadaan ini, dikatakan kepadanya, “Menikahlah lagi dengan perempuan yang kedua!”
Poligami menjadi haram bagi seseorang apabila berpoligami akan mengantarkannya pada perbuatan yang haram. Misalnya, ia menikah lagi padahal telah mempunyai empat orang istri (sehingga menjadi lima), atau mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara kandung dalam keadaan salah satunya belum dicerai/ belum meninggal.
Poligami menjadi makruh apabila menjadikan pelakunya terjatuh kepada perbuatan yang makruh, ibarat menceraikan istrinya alasannya ijab kabul yang berikutnya, tanpa alasan yang benar; atau seorang yang dikenal agresif dalam relasi suami istri, emosional, tidak mempunyai rahmat dan sifat ikhlas terhadap istrinya. Orang yang ibarat ini makruh hukumnya berpoligami alasannya kehidupan ijab kabul membutuhkan dan menuntut kelemahlembutan dan perilaku berlapang dada terhadap para istri. (Sualat fi Ta’addudiz Zaujat, hlm. 43)
Hukum Asal Pernikahan ialah Poligami
Samahatusy Syaikh al-Imam Abdul Aziz ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah aturan asal dalam hal ijab kabul itu, ta’addud/poligami atau hanya beristri satu?” Beliau menjawab, “Hukum asal dalam ijab kabul ialah disyariatkannya poligami bagi yang bisa dan tidak khawatir berlaku zalim.
Sebab, poligami mengandung maslahat/kebaikan yang besar untuk menjaga kemaluan si lelaki dan iffah (kehormatan diri) para perempuan yang dinikahi. Selain itu, poligami juga mengandung perbuatan baik kepada para perempuan serta memperbanyak keturunan sehingga jumlah umat ini semakin besar dan memperbanyak orang yang beribadah kepada Tuhan Subhanahu wata’ala saja. Dalilnya ialah firman Tuhan Subhanahu wata’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan yatim (bila kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang halal bagi kalian untuk dinikahi; (apakah) dua, tiga, atau empat. Namun, bila kalian khawatir tidak bisa berlaku adil (di antara para istri bila hingga kalian mempunyai lebih dari satu istri) maka nikahilah satu istri saja atau mencukupkan dengan budak perempuan yang kalian miliki. Hal itu lebih akrab semoga kalian tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa: 3)
Di samping itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi lebih dari satu wanita, padahal Tuhan Subhanahu wata’ala berfirman:
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri contoh yang baik (uswah hasanah) yaitu bagi orang yang mengharap Tuhan dan hari simpulan lagi banyak menyebut Allah.” (QS Al- Ahzab: 21)
Sebagian sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Aku tidak akan makan daging” , yang satunya lagi berkata, “Aku akan shalat malam terus dan tidak akan pernah tidur” , yang lainnya mengatakan, “Aku akan terus puasa, tidak pernah berbuka (di siang hari),” dan ada pula yang mengatakan, “Aku tidak akan menikahi para wanita.” Ketika info mereka hingga kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkhutbah di hadapan manusia, memuji, dan menyanjung Tuhan Subhanahu wata’ala, kemudian bersabda:
إِنَّهُ بَلَغَنِي كَذَا وَكَذا وَلَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَنَامُ، وَآكُلُ اللَّحْمَ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Sampai kepadaku info ini dan itu… Padahal saya sendiri berpuasa dan juga berbuka, saya shalat malam dan saya juga tidur, saya makan daging, dan menikahi para wanita. Siapa yang membenci sunnahku, dia bukanlah cuilan (golongan) ku.”
Ini ialah lafadz yang agung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, meliputi seorang istri dan lebih dari satu istri. Wallahu waliyyut taufiq. (Al-Fatawa al-Ijtima’iyah, hlm. 94)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
0 Response to "Poligami (3): Syariat Poligami"
Posting Komentar