ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Banyak perempuan dari golongan kaum musyrik dan para muslimah sendiri mempertanyakan buruknya praktik ta’addud (poligami) dalam Islam. Mereka lalu menolak keras poligami dengan alasan menyakiti wanita. Penolakan ini bahkan merembet sampai menggugat syariat, menganggap syariat tak lagi memperlihatkan keadilan. Dengan gelap mata, penafsiran aliran agama selama ini divonis hanya memihak kaum laki-laki, serta dituduh dipahami secara tekstual dan parsial.
Alhasil, perempuan boleh meradang saat suaminya menikah lagi. Lantas, kenapa banyak perempuan yang dibiarkan jadi selingkuhan laki-laki beristri? Mengapa pula banyak perempuan yang dengan sukacita jadi “istri” simpanan demi seonggok materi? Dan mengapa tak sedikit istri yang lebih senang suaminya “jajan” atau menduakan ketimbang kawin lagi, (lagi-lagi) dengan alasan materi—takut harta suami direbut madunya, warisan suami akan terbagi, dsb? Alasan menyakiti perempuan pun kian abu-abu. Tanpa ijab kabul resmi, biaya sosial yang muncul terang sangat besar. Jika seks bebas dan perselingkuhan dibiarkan, siapa yang paling mencicipi akibatnya? Siapa yang menanggung bila terjadi penyebaran Penyakit Menular Seksual (PMS) akhir gonta-ganti pasangan di luar nikah? Ujung-ujungnya, yang jadi korban atau setidaknya objek seks ialah perempuan. Lantas, mengapa poligami yang merupakan wujud tanggung jawab seorang laki-laki untuk menikahi perempuan secara terhormat justru dikesankan demikian seram?
Memang, dalam praktiknya banyak orang yang “mau cari enaknya” saat berpoligami, mencari “daun muda” lantas menelantarkan istri pertama. Alhasil, kebanyakan kita cenderung memandang dari realitas yang ada bahwa mengamalkan poligami hanya akan membuat kekerasan terhadap perempuan, dsb. Jika ditelisik, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukanlah soal poligaminya.
Di rumah tangga monogami sekarang, juga marak KDRT. Apakah dengan itu kita lantas menyalahkan monogami, lalu dengan alasan kontekstual menganjurkan hidup membujang? Kalau begitu, mengapa poligami yang dituding merusak korelasi rumah tangga? Bukankah perselingkuhan dan perzinaan itu yang mengakibatkan rusaknya rumah tangga? Intinya memang bukan monogami atau poligaminya, tetapi lebih ke pelaku. Analoginya, ada orang shalat namun masih bermaksiat, orang berjilbab tetapi tidak beradab, dst. Apakah (lagi-lagi) dengan alasan kontekstual kita lantas menggugat shalat, jilbab, dsb?
Maka dari itu, kita semestinya lebih mendalami aliran agama supaya tidak salah memahami, sanggup bersikap nyata terhadap syariat Tuhan Subhanahu wata’ala dan kepada mereka yang telah mengamalkannya. Apalagi kesuksesan atau kegagalan berumah tangga ialah hal lumrah. Monogami sekalipun, bila persiapannya asal-asalan, hasilnya juga tidak akan baik. Oleh alasannya ialah itu, bila pada kehidupan poligami terjadi “kegagalan”, kita sanggup bersikap bijak dengan tidak gampang menyalahkan poligaminya. Yang harus kita pupuk ialah kesiapan ilmu dalam membina rumah tangga.
Maka dari itu, kita semestinya lebih mendalami aliran agama supaya tidak salah memahami, sanggup bersikap nyata terhadap syariat Tuhan Subhanahu wata’ala dan kepada mereka yang telah mengamalkannya. Apalagi kesuksesan atau kegagalan berumah tangga ialah hal lumrah. Monogami sekalipun, bila persiapannya asal-asalan, hasilnya juga tidak akan baik. Oleh alasannya ialah itu, bila pada kehidupan poligami terjadi “kegagalan”, kita sanggup bersikap bijak dengan tidak gampang menyalahkan poligaminya. Yang harus kita pupuk ialah kesiapan ilmu dalam membina rumah tangga.
Ketika seorang laki-laki hendak berpoligami, beliau harus memahami syariat ta’addud (poligami) secara benar supaya sanggup mempraktikkan secara benar pula. Dalam kehidupan poligami, laki-laki tentu akan lebih “dipusingkan”. Ia dituntut menjadi nakhoda yang baik bagi beberapa bahtera. Bagi lelaki yang bertanggung jawab dan cantik dalam praktik poligami, waktu lebih yang ia luangkan, bahan lebih yang ia keluarkan, serta tenaga dan pikiran lebih yang ia curahkan, sejatinya tak sebanding dengan “kenikmatan” yang ia dapatkan. Lebih-lebih, bila ia benar-benar menikahi wanita-wanita yang secara kebijaksanaan “tidak menguntungkan” untuk dijadikan istri, menyerupai janda miskin beranak banyak.
Akhirnya, kebesaran jiwa seorang istri juga diharapkan di sini. Wanita tidak perlu takut kebahagiaannya akan berkurang kala suaminya menikah lagi.
0 Response to "Poligami (2): Mengapa Poligami Dihujat?"
Posting Komentar