Poligami (6): Hukum Dalam Poligami

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280



Ada beberapa aturan atau aturan yang diatur oleh syariat dalam hal poligami, di antaranya:
1.    Tidak boleh mengumpulkan dua wanita bersaudara dalam ikatan pernikahan.
Artinya, seorang lelaki dihentikan menikahi seorang wanita kemudian menikahi lagi saudara wanita istri, yakni iparnya. Sama saja, apakah itu adik atau abang ipar, sekandung, seayah, atau seibu dengan istri, kemudian keduanya dikumpulkan dalam ijab kabul (dijadikan madu satu dengan yang lainnya).
Ketika Tuhan Subhanahu wata’ala menyebutkan perihal perempuan-perempuan yang haram dinikahi, termasuk yang haram dilakukan adalah,

“Dan kalian mengumpulkan dua wanita yang bersaudara, terkecuali apa yang telah lalu.” (
QS An-Nisa: 23)

Ummu Habibah bintu Abi Sufyan radhiyallahu ‘anha, seorang ummul mukminin, pernah berkata kepada suaminya, “Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, putri Abu Sufyan”
. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apakah kau menyenangi hal itu?” “Iya. Toh saya tidak sendirian sebagai istrimu, saya dapati saya punya madu (istri-istrimu yang lain),” jawab Ummu Habibah. “Aku suka saudara perempuanku ikut menyertaiku dalam kebaikan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh hal itu tidak halal bagiku.” Ummu Habibah berkata lagi, “Kami membicarakan bahwa Anda ingin menikahi putri Abu Salamah.” “Putri Ummu Salamah?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meyakinkan. “Iya,” jawab Ummu Habibah. Rasulullah n menjelaskan, “Andainya pun ia bukan rabibahku (putri istriku) yang dalam asuhanku, ia tetap tidak halal bagiku, lantaran ia yakni putri dari saudara laki-lakiku sesusuan. Aku dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah (budak Abu Lahab). Janganlah kalian (para istriku) memperlihatkan kepadaku (untuk kunikahi) putri-putri kalian dan jangan pula saudara-saudara wanita kalian.” (HR. al-Bukhari No. 5101 dan Muslim No. 3571)

2. Tidak boleh mengumpulkan istri dengan bibinya, dari pihak ayah ataupun ibu (‘ammah dan khalah) dalam pernikahan.
Berarti, dihentikan sesudah menikahi si istri kemudian menikahi bibinya, atau sebaliknya, menikah dulu dengan si bibi kemudian menikahi keponakannya. Demikian pendapat yang rajih, dan ini yakni pendapat jumhur ulama (Fathul Bari, 9/202).
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

نَهَى النَّبِيُّ أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَالْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang wanita dinikahi sesudah ‘ammahnya dan seorang wanita dinikahi sesudah memperistri khalahnya.” (HR. al- Bukhari
No. 5110 dan Muslim No. 3429)
Yang haram hanyalah apabila mereka disatukan dalam pernikahan, yakni dijadikan madu. Adapun apabila istrinya sudah meninggal atau bercerai darinya, tidak apa-apa si suami menikahi adik perempuan, abang perempuan, atau bibi istrinya.

3.  Boleh memberikan mahar yang berbeda antara satu istri dan istri yang lain, baik dalam hal jumlah atau macamnya.
Dalilnya apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal derma mahar pernikahannya dengan istri-istri beliau. Beliau tidaklah menyamakan satu istri dengan istri yang lain. Ketika menikahi Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Raja Najasyi menyerahkan mahar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebesar empat ribu dirham. (HR. Abu Dawud no. 2107, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu memberitakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerdekakan Shafiyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha dari perbudakan dan menyebabkan kemerdekaannya sebagai maharnya. (HR. al-Bukhari
No. 5086 dan Muslim No. 3482)

4.    Boleh menyelenggarakan walimah ijab kabul dengan seorang istri lebih meriah daripada walimah ijab kabul dengan istri yang lain.
Tsabit al-Bunani, seorang tabi’in yang mulia dan murid Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, mengatakan, “Disebut-sebut perihal ijab kabul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu ‘anha di sisi Anas radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat Nabi menyelenggarakan walimah ijab kabul ia dengan salah satu dari istri-istri ia melebihi walimah yang diadakannya ketika menikahi Zainab” (HR. al-Bukhari No. 5171 dan Muslim No. 3489).
Al-Kirmani mengatakan, bisa jadi, alasannya yakni Zainab radhiyallahu ‘anha dilebihkan dalam walimah daripada istri-istri ia Shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain yakni sebagai tanda kesyukuran kepada Tuhan Subhanahu wata’ala atas nikmat yang dilimpahkan kepada beliau, yaitu Tuhan Subhanahu wata’ala menikahkan Zainab dengan ia lewat wahyu (Fathul Bari, 9/296)
.

5. Setiap istri ditempatkan di rumah tersendiri lantaran demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wata’ala menyatakan dalam al- Qur’an,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Tetaplah kalian (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kalian.” (
QS Al-Ahzab: 33)

Demikian pula ayat,
“Dan ingatlah apa yang dibacakan dalam rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Tuhan dan hikmah….” (QS Al-Ahzab: 34)
Dalam ayat di atas, Tuhan Subhanahu wata’ala menyebutkan lafadz buyut (bentuk jamak dari kata bait) yang bermakna rumah rumah, yang berarti rumah Nabi tidak hanya satu, tetapi berbilang.

Hadits – hadits juga banyak memperlihatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menempatkan istri-istri ia dalam rumah yang terpisah. Di antaranya hadits Aisyah berikut ini radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ,كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتِ فِيْهِ: أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ، فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ، فَكاَنَ فِي بَيْتِ عَائِشَة حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا.

Saat sakit yang mengantarkan kepada selesai hidup Rasulullah n, ia biasa bertanya, “Di mana saya besok, di mana saya besok?” Beliau menginginkan tiba hari giliran Aisyah. Istri-istri ia pun mengizinkan ia untuk berdiam di mana saja yang ia inginkan. Beliau pun tinggal di rumah Aisyah hingga meninggal di sisi Aisyah. (HR. Al- Bukhari No. 5217)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah salah seorang istrinya, istri ia yang lain mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi sedang berdiam di rumahnya memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan terbelah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengumpulkan belahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan, kemudian ia letakkan di atas piring yang terbelah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau kemudian menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya.” (HR. Al-Bukhari No. 5225)
Para istri sebaiknya ditempatkan di rumah tersendiri lantaran berkumpulnya mereka rawan memunculkan kecemburuan dan pertikaian. Dikhawatirkan ketika suami menggauli salah satu istrinya, istri yang lain akan melihatnya. Demikian kata al- Hasan al-Bashri rahimahullah (al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah, 4/388).

6.    Boleh menempatkan istri-istri dalam satu rumah apabila mereka ridha.
Al-Imam Ibnu Qudamah t menerangkan, “Tidak boleh seorang suami mengumpulkan dua istri dalam satu daerah tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik istri muda maupun istri tua, lantaran mudarat yang bisa muncul di antara keduanya, yaitu permusuhan dan kecemburuan. Apabila keduanya dikumpulkan akan mengobarkan pertikaian dan permusuhan. Yang satu akan mendengar atau melihat ketika suaminya “mendatangi” istri yang lain. Namun, kalau kedua istri ridha, hal itu dibolehkan.
Sebab, hal itu menjadi hak keduanya dan mereka bisa menggugurkannya. Demikian pula, apabila keduanya ridha suami tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Namun, apabila keduanya ridha suami mencampuri salah satunya dan yang lainnya menyaksikan, hal ini tidaklah diperbolehkan. Sebab, hal ini yakni perbuatan yang rendah, tidak pantas, dan menjatuhkan kehormatan. Karena itu, walaupun keduanya ridha, tetap tidak diperkenankan. (Al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “Fashl an Yajma’a Baina Imra’ataihi fi Maskan Wahid”)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah juga menyatakan bolehnya mengumpulkan istri dalam satu rumah apabila mereka ridha. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/140)

7.    Seorang istri boleh mengirimkan hadiah kepada suaminya ketika si suami sedang berada di rumah istri yang lain.
Dalil kita yakni hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan perihal seorang ummul mukminin yang mengirimkan hadiah sepiring makanan kepada Rasulullah ketika ia berada di rumah istri ia yang lain, dan ia tidak mengingkari perbuatan tersebut.

8.    Suami harus berlaku adil dalam hal nafkah, pakaian, dan daerah tinggal.
Demikian pula dalam urusan mabit (bermalam), dijatahnya istri-istrinya, malam dan siangnya dengan adil.
Suami bisa menggilir semalam-semalam, atau sesuai komitmen yang ada. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri membagi giliran istri-istrinya sehari semalam, sebagaimana hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,

وَكَانَ يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا غَيْرَ أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ النَّبِيِّ, تَبْتَغِي بِذَلِكَ رِضَا زَوْجِ رَسُوْلِ اللهِ

“Beliau membagi giliran setiap istrinya sehari semalam, kecuali Saudah bintu Zam’ah, ia telah menghadiahkan hari dan malamnya untuk Aisyah guna mencari keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR.
Al-Bukhari No. 2688)

Apabila seorang istri ditambah hari gilirannya, istri yang lain pun ditambah, berdasar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha ketika pengantin barunya,

إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي

“Apabila engkau mau, saya akan mencukupkan tujuh hari bersamamu. Namun, kalau saya memberikan waktu tujuh hari denganmu, berarti saya juga memberikan tujuh hari untuk istri-istriku yang lain.” (HR. Muslim No. 3606)

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata ketika menjelaskan ucapan al-Khiraqi, “Masalah: Sandaran pembagian giliran yakni malam hari”, “Tidak ada perselisihan dalam hal ini, lantaran waktu malam itu untuk istirahat/menenangkan diri dan berdiam. Seseorang berdiam di rumahnya pada waktu malam, menenangkan diri dengan keluarganya, dan biasanya tidur di daerah tidurnya bersama istrinya. Adapun siang hari yakni waktu untuk mengurusi penghidupan, keluar rumah, mencari rezeki, dan menyibukkan diri
.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا

“Dan Dia menyebabkan malam sebagai waktu ketenangan.” (
QS Al-An’am: 96)

وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا  جَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًاوَ

“Kami menyebabkan malam sebagai pakaian dan siang untuk mengurusi penghidupan.” (
QS An-Naba: 10—11)

وَمِن رَّحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Termasuk rahmat-Nya, Dia menyebabkan bagi kalian malam dan siang biar kalian mendapat ketenangan di dalamnya (di waktu malam) dan biar kalian bisa mencari sebagian keutamaan- Nya (pada siang hari).” (QS Al-Qashash: 73)

Berdasarkan hal ini, seorang lelaki membagi giliran di antara istrinya semalam demi semalam, sedangkan siang harinya ia mengurusi pekerjaan, memenuhi hakhak manusia, dan melaksanakan urusan mubah yang dia inginkan. Berbeda halnya apabila ia termasuk orang yang bekerja di waktu malam, menyerupai penjaga keamanan (satpam) dan yang semisalnya, ia menunaikan giliran istri-istrinya di siang hari, sedangkan malam hari baginya menyerupai siang bagi orang lain.” (
Al- Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “Fashl at-Taswiyah baina an-Nisa fin Nafaqah wal Kiswah”)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, malam menjadi sandaran giliran di ketika seseorang bermukim. Adapun ketika safar, patokan giliran yakni ketika singgah di suatu tempat. (Fathul Bari, 9/386)
Namun, riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyebutkan Saudah menghadiahkan malam dan siangnya untuk Aisyah, memperlihatkan siang juga masuk dalam pembagian mengikuti malam. Yang dimaksud dengan siang hari yakni hari yang mengikuti malam yang sudah lewat. (Al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, fashl an-Nahar Yadkhulu fil Qism Taba’an Lil lail)

9.    Istri yang sedang haid, nifas, atau sakit juga tetap mendapat pembagian giliran.
Demikian yang dinyatakan oleh ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan ashabur ra’yi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah (
Al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “fashl Yuqsamu lil Maridhah…”).
Al-Qurthubi rahimahullah juga menyatakan demikian. (
Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/139)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bermalam di rumah istri ia yang haid dan tidur bersamanya. Kata Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apabila salah seorang dari kami haid dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ingin bercampur (selain jima’) dengannya, ia perintahkan si istri untuk bersarung (menutupi tubuh pecahan bawah), kemudian ia pun mencampurinya. Kata Aisyah, “Siapa di antara kalian yang bisa menahan nafsunya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menguasainya?” (HR. al-Bukhari
No. 302 dan Muslim No. 677)
Maimunah radhiyallahu ‘anha pun memberitakan sebagaimana yang dikabarkan oleh Aisyah (HR. Al-Bukhari No. 303 dan Muslim No. 678)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Wajib bagi suami berlaku adil di antara istri-istrinya. Setiap istri berhak mendapat giliran sehari semalam. Ini yakni pendapat secara umum dikuasai ulama. Sebagian ulama berpendapat, giliran hanya wajib pada malam hari, tidak pada siang hari. Hak istri tidak gugur pada ketika sakit dan haid. Suami harus berada di samping istrinya pada hari gilirannya dan malamnya. Wajib bagi suami berlaku adil di antara para istri di ketika sakit (suami) sebagaimana yang ia lakukan di ketika sehatnya. Lain halnya kalau ia tidak kuasa untuk bergerak, maka ia tinggal di rumah istrinya daerah ia jatuh sakit (yang membuatnya tidak bisa bergerak/ sakit parah) di situ. Apabila telah sehat, ia memulai lagi giliran yang baru. (Al- Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/139)

10.  Bermalam di samping seorang istri tidak berarti harus jima’ dengannya. Yang penting, si suami bermalam di rumah istri tersebut, maka hal tersebut sudah mencukupi. Namun, tentu disenangi apabila suami tidak menyia-nyiakan istrinya. (Al-Minhaj, 9/288)

11.  Suami tidak wajib menyamakan istri-istrinya dalam hal cinta, kecondongan hati, dan jima’. Namun, apabila suami bisa menyamakan, hal itu baik dalam tinjauan keadilan. Kalaupun tidak, tidak ada dosa bagi suami.

12. Tidak boleh mendahulukan satu istri selain dalam hal awal mendapat giliran sehingga dilakukan undian, kecuali apabila para istri ridha mengikuti kehendak suami, siapa istri yang digilirnya terlebih dahulu.
Disebutkan dalam al-Majmu’, (18/110), “Apabila suami hendak membagi giliran (di antara para istrinya) ia dihentikan memulai dari salah seorang istri tanpa keridhaan istri-istri yang lain, kecuali dengan undian. Ini menurut hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.

“Siapa yang mempunyai dua istri kemudian condong kepada salah seorang dari keduanya (berlaku tidak adil), maka ia akan tiba pada hari selesai zaman dalam keadaan sebelah tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud No. 2133, An-Nasa’i No. 3942, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud, Shahih An-Nasa’i, dan Irwa’ul Ghalil No. 2017)
Selain itu, memulai dari salah seorang istri tanpa melaksanakan undian akan mengundang perasaan tidak suka/iri. Apabila ia mengutamakan satu istrinya dalam hal giliran baik dengan undian maupun tidak, ia wajib mengqadha (menggantinya) untuk istri-istri yang lain. Sebab, kalau ia tidak qadha berarti ia telah condong/melebihkan salah seorang istrinya dari yang lain sehingga ia masuk dalam bahaya yang disebutkan dalam hadits.”
13.    Saat giliran seorang istri, maka pada malam hari suami dihentikan pergi ke rumah istrinya yang lain kecuali lantaran suatu keperluan yang darurat. Apabila hingga suami melakukannya, hal itu yakni pelanggaran terhadap perilaku adil.
Dalilnya yakni kisah malam giliran Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan Aisyah untuk memenuhi undangan Jibril ziarah ke Baqi’, namun disangka oleh Aisyah hendak ke daerah istri yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu menyatakan, “Apakah engkau menyangka Tuhan Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu?” (HR. Muslim No. 974)
Darurat yang dimaksud contohnya sakit, atau si madu dikhawatirkan meninggal, atau ia dipaksa oleh penguasa untuk ke daerah madu istrinya. Apabila demikian, ia boleh keluar dan wajib baginya mengqadha waktu yang terpotong dari istri yang punya hak giliran. (Al- Majmu’, 18/119)

 14.    Boleh para istri berkumpul di malam hari di rumah istri yang sedang mendapat giliran untuk bercerita atau berbincang-bincang hingga tiba waktu tidur, kemudian masing-masing pulang ke rumah mereka. (Zadul Ma’ad, 4/20)
Hal ini dilakukan oleh istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana info dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,

فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيْهَا

“Mereka (para istri Nabi) berkumpul setiap malam di rumah istri yang didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim No. 3613)

15.    Hukum asalnya dan yang lebih utama, suami menggilir istri-istrinya dengan mendatangi mereka di rumah masing-masing, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini lebih elok dari sisi pergaulan suami istri, lebih menjaga istri, dan lebih menutupinya. Namun, apabila suami mempunyai daerah atau kamar khusus, kemudian memanggil istri yang sedang memperoleh giliran ke tempatnya, hal itu dibolehkan. Sebab, memindahkan istri ke mana saja yang ia inginkan yakni hak suami, dan sudah menjadi kewajiban bagi istri untuk mengikuti suaminya. (Al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “fashl Al-Aula an Yakuna li Kulli Wahidah min hunna Maskan”, dan al- Minhaj, 10/289)

16.    Tidak boleh menggauli istri yang bukan gilirannya kecuali dengan keridhaan istri yang sedang memperoleh giliran.
Aisyah radhiyallahu ‘anha memberikan kepadakeponakannya, Urwah bin az-Zubair, “Wahai anak saudara perempuanku! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu tidak mengutamakan sebagian kami dari yang lain dalam hal berdiamnya ia di sisi kami ketika pembagian giliran. Hampir setiap hari ia berkeliling ke daerah kami seluruhnya, kemudian ia mendekati setiap istrinya tanpa melaksanakan jima’. Tatkala ia hingga ke rumah istri yang mendapat giliran hari itu, ia pun bermalam di rumahnya.” (HR. Abu Dawud No. 2135, hadits ini hasan sahih sebagaimana dalam Shahih Abi Dawud)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, boleh bagi suami untuk masuk menemui istri-istrinya seluruhnya pada hari giliran salah seorang dari mereka, tetapi ia dihentikan menggauli istri yang bukan hari gilirannya. (Zadul Ma’ad, 4/20)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah juga menyatakan demikian. Jadi, suami dibolehkan bermesraan, menyentuh/ meraba, dan mencium istri yang bukan gilirannya (asal bukan jima’). (Subulus Salam, 6/145)

17.    Seorang istri boleh menghadiahkan gilirannya kepada madunya.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anha yang memberikan hari dan malamnya untuk Aisyah radhiyallahu ‘anha. (HR. al-Bukhari No. 2688 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

18.    Mengundi para istri apabila ada yang hendak dibawa safar
Walaupun dalam dilema ini adaperbedaan pendapat, antara yang menyampaikan wajib diundi, menyerupai al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, dan yang beropini tidak wajib (Subulus Salam 6/146)9, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya. Apabila ingin safar, ia n mengundi di antara istri istrinya. Siapa di antara mereka yang keluar undiannya, ia membawanya dalam safar. (HR. Al- Bukhari no. 2688 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Suami dihentikan mengkhususkan salah seorang istrinya untuk safar bersamanya kecuali dengan undian.” (Al-Muhalla, 10/63)
Setelah pulang dari safar yang sebelumnya dilakukan undian untuk memilih istri mana yang akan diajak, si suami tidak mengqadha giliran untuk istri yang tidak diajak safar.
Demikian pendapat kebanyakan ulama. Mereka berdalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan alasan menyerupai itu dalam Zadul Ma’ad.
Adapun kalau safarnya tanpa undian, dibawa siapa saja dari istri yang diinginkan oleh suami, Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan tiga pendapat, apakah suami harus mengqadha untuk istri yang tidak diajak safar ataukah tidak.
1. Tidak mengqadha, sama saja dilakukan undian atau tanpa undian. Ini yakni pendapat Abu Hanifah dan al-Imam Malik.
2. Diqadha untuk istri-istri yang ditinggal dan tidak diajak safar, sama saja apakah dilakukan undian atau tidak. Ini yakni mazhab Zhahiri.
3. Kalau dilakukan undian, suami tidak mengqadha; apabila tanpa undian, suami harus mengqadha. Ini yakni pendapat al-Imam Ahmad dan asy- Syafi’i. Wallahu a’lam. (Zadul Ma’ad, 4/20)

19.    Seorang wanita dibenci “memanas-manasi” madunya dengan apa yang tidak ada padanya.
Ketika ada seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, saya mempunyai madu. Apakah saya berdosa apabila saya menyampaikan kepadanya bahwa saya diberikan harta ini-itu dari suamiku, padahal bekerjsama suamiku tidak memberikannya?” Rasulullah rahimahullah menjawab,

الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ

“Orang yang berhias-hias (mengakungaku) dengan apa yang tidak diberikan kepadanya menyerupai orang yang menggunakan dua pakaian kedustaan.” (HR. Al- Bukhari No. 5219 dan Muslim No. 5549 dari Asma radhiyallahu ‘anha)
Biasanya, wanita melakukannya lantaran ingin menciptakan murka atau memanas-manasi madunya (Fathul Bari, 9/394).
Perbuatan menyerupai ini terang tercela Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama perihal tidak wajibnya membagi sama rata di antara para istri dalam urusan jima’ (berhubungan badan).”

Mampu Bersikap Adil Adalah Nikmat
Menikah lebih dari satu istri bagi yang bisa yakni sebuah kelebihan. Namun, hal itu haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu disertai kewajiban menghindari sikap-sikap yang tercela. Ia harus mengedepankan perilaku adil dan menjauhi bentuk-bentuk kezaliman.
Al – Imam Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Nikmat Tuhan Subhanahu wata’ala terbesar kepada seorang hamba yakni dimudahkan untuk mempunyai perilaku adil dan cinta kepada keadilan, serta dimudahkan untuk berada di atas kebenaran dan cinta kepada kebenaran.” (Mudawatun Nufus hlm. 90) Semoga Tuhan Subhanahu wata’ala memudahkan setiap hamba yang berusaha menegakkan sunnah Nabi-Nya. Wallahul muwaffiq.




Sumber http://kangdaengnaba.blogspot.com/
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Poligami (6): Hukum Dalam Poligami"

Posting Komentar