Berdasarkan Hasanudin Abdurakhman, Menghafal Itu Bukan Belajar

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
 Salah satu kegemasan saya soal pendidikan di Indonesia yaitu soal  kebiasaan mengakibatkan   Menurut Hasanudin Abdurakhman, Menghafal itu Bukan Belajar

Oleh: Hasanudin Abdurakhman
Salah satu kegemasan saya soal pendidikan di Indonesia yaitu soal kebiasaan mengakibatkan kegiatan menghafal sebagai bab utama dari proses belajar. Ini dilakukan secara sadar maupun tidak.
Yang dilakukan secara sadar yaitu perintah untuk menghafal doa, teks, ayat, dan sebagainya. Yang dilakukan secara tidak sadar yaitu bahan pelajaran yang melebihi porsi, sehingga tidak mungkin dipahami anak.
Akhirnya ditempuh jalan pintas, yaitu, hafalkan saja. Sangat menyedihkan bila melihat bahwa pendidikan dasar kita didominasi oleh kegiatan menghafal.
Menghafal yaitu proses menempatkan informasi ke dalam ingatan (memori). Ada proses mengubah informasi menjadi isyarat dalam proses penyimpanan, ini disebut coding.
Bila diperlukan, informasi itu dapat ditarik kembali, diubah kodenya sehingga menjadi format asal. Menghafal umumnya berbasis pada suara yang dihasilkan secara oral.
Belajar yaitu proses yang berbeda. Sangat berbeda. Perbedaan terpentingnya terletak pada proses pencernaan informasi. Informasi dicerna, berbasis pada informasi dan pemahaman yang sudah ada sebelumnya.
Pada alhasil informasi juga akan disimpan dalam memori, tapi dalam format yang sama sekali berbeda dengan yang disimpan melalui proses hafalan.
Nah, inilah masalah pada pendidikan kita, khususnya pendidikan dasar. Entah kenapa pembuat kurikulum kita begitu bersemangat untuk menjejalkan sebanyak mungkin pengetahuan kepada belum dewasa semenjak usia dini.
Demikian banyak sehingga guru tak mampu membangun pemahaman kepada belum dewasa atas setiap subjek pelajaran. Anak-anak pun tak mampu memahaminya. Akhirnya, dipilihlah jalan pintas, hafalkan saja.
Tentu saja ini sangat terkait dengan contoh ujian, atau tes kita. Ujian kita berbasis pada contoh pilihan ganda, satu balasan untuk satu pertanyaan.
Cara paling jitu untuk menghadapi ujian ini yaitu menghafal. Kita tidak menyediakan ruangan memadai untuk eksplorasi dan argumentasi dalam sistem tes kita.
Selain hanya menyediakan satu balasan atas satu persoalan, sistem hafalan tidak membangun kekerabatan antar informasi yang disimpan.
Informasi disimpan dalam format tunggal, tanpa hubungan. Artinya, informasi tidak membangun pengetahuan, sebatas kumpulan suara belaka.
Cara menghafal yaitu dengan mengulang. Persis ibarat orang melaksanakan latihan fisik. Kalau kita rajin melaksanakan latihan beban secara berulang, maka otot kita akan membesar. Itu yaitu “memori” yang menandai acara tadi.
Menghafal sama dengan memberi tanda itu pada otak kita. Konsekuensinya, bila prosesnya kita hentikan, maka secara perlahan tanda itu akan hilang. Kita akan lupa.
Anak-anak banyak berguru dari menghafal. Mereka dapat menghafal dengan cepat. Tugas kita bergotong-royong bukan menjejali mereka dengan hafalan, mumpung ingatan mereka masih segar.
Tugas kita justru sebaliknya, memanfaatkan masa itu untuk membuat ruang-ruang untuk fondasi pemahaman sebanyak mungkin, semoga mereka lebih gampang menyerap informasi pada tahap selanjutnya, berbasis pada pemahaman.
Banyak orang terjebak pada mitos bahwa bila belum dewasa disuruh menghafal di usia dini maka mereka akan ingat seumur hidup. Salah. Kelak mereka akan lupa lagi, kecuali mereka terus menerus melaksanakan pengulangan.
Nah, apa baiknya bila anak kita disuruh melaksanakan pengulangan demi mempertahankan hafalan? Bukankah sebaiknya mereka memanfaatkan waktu dan energinya untuk mengumpulkan informasi lain yang lebih baru? Ingatlah bahwa sesuatu yang dihafal yaitu sesuatu yang statis, tidak mengalami pembaruan.
Apakah saya menyampaikan dihentikan menghafal? Tidak juga. Menghafal tetap punya beberapa sisi positif. Salah satunya, ia dapat menarik informasi dengan cepat dari memori.
Saat berpikir membangun pemahaman, kecepatan ini dapat membantu. Namun harus diingat bahwa menghafal harus diposisikan sebagai alat bantu proses belajar. Ia bukan proses utama dalam belajar.
Contoh sederhananya adalah, belum dewasa kita ajari proses penjumlahan. Mereka paham apa itu penjumlahan, dan dapat melaksanakan penjumlahan terhadap aneka macam bilangan.
Dalam proses itu mereka akan hafal bahwa 2+2=4. Atau, mereka sudah paham bahwa 3×5 yaitu 5+5+5, tidak mengapa bila mereka hafal bahwa 3×5 sama dengan 15.

Bagaimana berdasarkan pembaca?
sumber :  kompas.com
Sumber https://indrabayang.blogspot.com/
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Berdasarkan Hasanudin Abdurakhman, Menghafal Itu Bukan Belajar"

Posting Komentar