ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Para perempuan calon penghuni surga, perempuan yang paling mulia dan utama, istri dari insan yang paling mulia dan utama. Merekalah ummahatul mukminin, contoh setiap perempuan pecinta akhirat. Gambaran budpekerti mereka kala suami tercinta menjadi “pengantin baru” sanggup kita lihat dari hadits berikut ini. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
أَوْلَمَ رَسُوْلُ اللهِ حِيْنَ بَنَى بِزَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ– فَأَشْبَعَ النَّاسَ خُبْزاً وَلَحْمًا، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى حُجَرِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ كَماَ كَانَتْ يَصْنَعُ صَبِيْحَةَ بِنَائِهِ، فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِنَّ وَيَدْعُوْ لَهُنَّ وَيُسْلِمْنَ عَلَيْهِ وَيَدْعُوْنَ لَهُ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah ketika pernikahannya dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha. Beliau mengenyangkan orang-orang yang hadir dengan roti dan daging. Kemudian dia keluar menuju bilik-bilik ummahatul mukminin sebagaimana kebiasaan dia di pagi hari dari malam pengantin beliau. Beliau mengucapkan salam kepada mereka dan mendoakan mereka. Para istri dia pun membalas salam dia dan mendoakan kebaikan untuk beliau….” (HR. Al-Bukhari No. 4794)
Dalam sebuah riwayat al-Bukhari (No. 4793) disebutkan,
Dalam sebuah riwayat al-Bukhari (No. 4793) disebutkan,
فَخَرَجَ النَّبِيُّ فَانْطَلَقَ إلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ وَرَحْمَةُ اللهِ. فَقَالَتْ: وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ، كَيْفَ وَجَدْتَ أَهْلَكَ؟ بَارَكَ اللهُ لَكَ. فَتَقَرَّى حُجَرَ نِسَائِهِ كُلِّهِنَّ يَقُوْلُ لَهُنَّ كَمَا يَقُوْلُ لِعَائِشَةَ، يَقُلْنَ لَهُ كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari daerah pengantinannya dengan Zainab radhiyallahu ‘anha menuju bilik Aisyah radhiyallahu ‘anha seraya berkata, “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah, wahai istriku!” Aisyah menjawab, “Wa ‘alaikas salam wa rahmatullah. Bagaimana istri Anda? Semoga Tuhan memberkahi Anda.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi satu persatu seluruh bilik istrinya, mengucapkan menyerupai yang dia ucapan kepada Aisyah dan semua mereka berucap sebagaimana ucapan Aisyah.
Betapa indah budpekerti Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan istri-istri dia Shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat beroleh istri yang gres dan menikmati bulan madunya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melupakan istri-istri yang lain. Di pagi hari dari malam pengantinnya, dia menyempatkan menjenguk istri-istrinya, mengucapkan salam keberkahan, dan melantunkan doa kebaikan untuk mereka, sehingga mereka mencicipi bahwa suami mereka tetap memperlihatkan perhatian dan tidak melupakan mereka meski gres saja beroleh istri yang baru.
Kebagusan budpekerti sang suami dibalas dengan keindahan pula oleh para istri beliau. Tidak ada kemarahan yang dimuntahkan dan kebencian yang ditumpahkan, yang ada hanya senyuman manis dan kata-kata indah nan memikat, “Bagaimana istri barumu? Semoga Tuhan Subhanahu wata’ala memperlihatkan keberkahan kepadamu, wahai suamiku.” Benar-benar menyejukkan hati….
Lama Suami Berdiam Bersama Istri Barunya
Syariat Islam telah memutuskan jangka waktu suami menemani istri barunya untuk tujuan pendekatan, mengenal lebih jauh, menghilangkan kekakuan, merekatkan cinta, dan lain sebagainya, sehingga mendapat istri gres tidak berarti si suami terus bersamanya.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
السُّنَّةُ إِذَا تَزَوَّجَ الْبِكْرَ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا، وَإِذَا تَزَوَّجَ الثَّيِّبَ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاَثًا.
“Yang (diajarkan dalam) sunnah, apabila seorang lelaki menikahi gadis sedangkan ia sudah mempunyai istri, ia tinggal bersamanya selama tujuh hari/ malam. Apabila ia menikahi janda sedangkan ia punya istri yang lain, ia tinggal di sisi istri barunya yang janda tersebut selama tiga hari.” (HR. Al- Bukhari No. 5213 dan Muslim No. 3611)
Setelah itu, dia membagi giliran (di antara istri-istrinya). (HR. Al-Bukhari No. 5214)
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menikah dengan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia tinggal di sisinya selama tiga hari. Ketika dia hendak meninggalkannya menuju istri dia yang lain, Ummu Salamah memegang pakaian beliau, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memperlihatkan pilihan,
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menikah dengan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia tinggal di sisinya selama tiga hari. Ketika dia hendak meninggalkannya menuju istri dia yang lain, Ummu Salamah memegang pakaian beliau, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memperlihatkan pilihan,
إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ، وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي
“Apabila engkau mau, saya akan menggenapkan tujuh hari bersamamu. Namun, jika saya memperlihatkan waktu tujuh hari denganmu, berarti saya juga harus memperlihatkan tujuh hari untuk istri-istriku yang lain.”(HR. Muslim No. 3606)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (4/19) mengatakan, “Ketetapan ini mengandung beberapa hal, di antaranya yakni wajib membagi giliran dari awalnya, yaitu ketika seorang lelaki menikahi seorang gadis sementara dia sudah mempunyai istri yang lain, ia tinggal di sisi istri barunya selama tujuh hari; sehabis itu ia menyamakan giliran di antara kedua istrinya.
Apabila yang dinikahinya yakni seorang janda, ia memperlihatkan pilihan kepada si istri: waktu tujuh hari berdiam bersamanya lalu ia mengqadha waktu tersebut untuk istri-istri yang lain, atau ia tinggal selama tiga hari bersama si istri dan waktu tiga hari itu tidak dihitung (setelah tiga hari, gres perhitungan giliran dengan istri-istri yang lain dimulai). Ini yakni pendapatkebanyakan para ulama.”
Al – Imam an – Nawawi rahimahullah menyatakan, hadits ini memperlihatkan bahwa istri yang gres dinikahi diutamakan daripada yang lainnya (istri lama). Apabila ia gadis, haknya yakni tujuh hari tujuh malam tanpa qadha. Apabila janda, ia diberi pilihan. Apabila ia menginginkan tujuh hari, berarti tujuh hari ini akan diqadha untuk istri-istri yang lain.
Namun, apabila ia mau, tiga hari tidak akan ada qadha. Ini yakni mazhab al-Imam asy- Syafi’i dan pendapat al-Imam Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Jarir, dan jumhur ulama. Abu Hanifah, al-Hakam, dan Hammad mengatakan, “Wajib qadha untuk seluruhnya pada janda dan gadis, berdalil dengan zahir nash yang menyuruh berlaku adil di antara para istri.
Adapun argumen al-Imam asy- Syafi’i (dan yang lainnya dari kalangan jumhur, -pent.), hadits-hadits tersebut mengkhususkan zahir nash yang umum yang memerintahkan berlaku adil.” (Al-Minhaj, 9/286)
Namun, apabila ia mau, tiga hari tidak akan ada qadha. Ini yakni mazhab al-Imam asy- Syafi’i dan pendapat al-Imam Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Jarir, dan jumhur ulama. Abu Hanifah, al-Hakam, dan Hammad mengatakan, “Wajib qadha untuk seluruhnya pada janda dan gadis, berdalil dengan zahir nash yang menyuruh berlaku adil di antara para istri.
Adapun argumen al-Imam asy- Syafi’i (dan yang lainnya dari kalangan jumhur, -pent.), hadits-hadits tersebut mengkhususkan zahir nash yang umum yang memerintahkan berlaku adil.” (Al-Minhaj, 9/286)
Waktu tiga atau tujuh hari tersebut harus berturut-turut, tidak boleh terpotong. Seandainya terpotong maka waktu yang terpotong itu tidak terhitung2. (Fathul Bari, 9/392)
Tidak Boleh Mempersyaratkan Dicerainya Istri yang Lain
Ada perempuan yang bersedia dinikahi oleh seorang lelaki yang telah beristri dengan syarat si lelaki menceraikan istrinya yang lama. Persyaratan menyerupai ini dihentikan dalam syariat alasannya yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak boleh seorang perempuan meminta seorang lelaki semoga menceraikan saudarinya4 semoga ia sanggup memenuhi piringnya sendiri dan mengosongkan yang lain.5 Hendaknya ia menikah saja alasannya yakni ia hanya beroleh apa yang telah ditetapkan/ditakdirkan untuknya.” (HR. Al-Bukhari No. 5152 dan Muslim). Ini yakni persyaratan yang tidak halal dalam pernikahan.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak boleh seorang perempuan mempersyaratkan (ketika ia hendak dinikahi oleh seorang lelaki yang telah beristri) semoga saudarinya tersebut dicerai.” (Diriwayatkan al-Bukhari secara mu’allaq, “Kitab an-Nikah”, potongan “asy-Syuruth al-Lati La Tahillu fin Nikah”)
Hadits ini berisi larangan bagi perempuan ajnabiyah untuk meminta seorang lelaki menceraikan istrinya, gres lalu menikahinya sehingga beralihlah nafkah suami, pergaulannya, dan hal-hal lainnya hanya kepadanya. (Fathul Bari, 9/274)
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyatakan, “saudarinya” yang disebut dalam hadits yakni madunya. Jadi, tidak pantas seorang istri meminta suaminya menceraikan madunya sehingga tinggallah dia sendiri (tanpa pesaing). (Fathul Bari 9/275, Tuhfatul Ahwadzi, “Kitab ath-Thalaq wal Li’an”, potongan “Ma Ja’a La Tas’alu al-Mar’ah Thalaqa Ukhtiha”)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
0 Response to "Poligami (5): Ketika Suami Menikah Lagi"
Posting Komentar