Karakteristik Pendekatan Scientific (Ilmiah) Dalam Kurikulum 2013

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280

Pendekatan Scientific (Ilmiah): Esensi dan Karakteristik dalam Kurikulum 2013

Melanjutkan goresan pena sebelumnya mengenai pendekatan scientific (pendekatan ilmiah) yang dipakai dalam pembelajaran di Kurikulum 2013, berikut ini blog penelitian tindakan kelas akan menyajikan esensi pendekatan ilmiah (scientific), perbandingan pendekatan ilmiah dengan non ilmiah, serta karakteristik-karakteristik pendekatan ilmiah (scientific) tersebut. Mari kita simak.

A. Esensi Pendekatan Ilmiah (Pendekatan Scientific) 

Pada hakikatnya, sebuah proses  pembelajaran yang dilakukan di kelas-kelas bisa kita dipadankan  sebagai sebuah proses  ilmiah. Oleh lantaran itulah, dalam Kurikulum  2013 diamanatkan perihal apa bergotong-royong esensi dari pendekatan saintifik pada kegiatan pembelajaran. Ada sebuah iktikad bahwa pendekatan  ilmiah merupakan sebentuk titian  emas  perkembangan  dan  pengembangan  perilaku (ranah afektif),  keterampilan (ranah psikomotorik), dan  pengetahuan (ranah kognitif) siswa.
 Esensi dan Karakteristik dalam Kurikulum  Karakteristik Pendekatan Scientific (Ilmiah) dalam Kurikulum 2013
Penalaran induktif dan penalaran deduktif

Pada suatu pendekatan yang dilakukan  atau  proses  kerja  yang  memenuhi  kriteria  ilmiah,  para  saintis lebih mementingkan penggunaan pelararan  induktif  (inductive  reasoning) daripada penggunaan penalaran deduktif  (deductive reasoning). Penalaran  deduktif yaitu bentuk penalaran yang mencoba melihat  fenomena-fenomena  umum  untuk  kemudian menciptakan sebuah selesai yang khusus. Penalaran induktif (inductive reasoning) yaitu kebalikannya. Penalaran induktif justru memandang  fenomena-fenomena  atau  situasi-situasi yang khusus kemudian berikutnya menciptakan sebuah simpulan  secara keseluruhan (umum). Esensinya, pada penggunaan penalaran  induktif, bukti-bukti khusus (spesifik) ditempatkan ke dalam suatu kekerabatan (hubungan) gagasan/ide yang lebih luas (umum). Sedangkan metode  ilmiah pada umumnya meletakkan  fenomena-fenomena  unik  dengan  kajian  khusus/spesifik dan  detail kemudian sesudah itu kemudian merumuskan sebuah selesai yang bersifat umum.

Metode  ilmiah  yaitu sebuah metode yang merujuk  pada  teknik-teknik  penyelidikan terhadap suatu  atau  beberapa fenomena atau gejala,  memperoleh  pengetahuan  baru,  atau  mengoreksi  dan  memadukan  pengetahuan sebelumnya.  Agar sanggup dikatakan sebagai metode yang bersifat ilmiah, maka sebuah metode  penyelidikan/inkuiri/pencarian (method  of  inquiry)  haruslah  didasarkan pada  bukti-bukti  dari  objek  yang  dapat  diobservasi,  empiris,  dan  terukur  dengan  prinsip-prinsip penalaran  yang  spesifik. Oleh lantaran itulah metode  ilmiah  umumnya  memuat  serangkaian acara pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah gosip atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis. Untuk lebih terperinci mengenai Metode Ilmiah dan Langkah-Langkah Metode Ilmiah silakan di baca di sini. Dan untuk Langkah-Langkah Penelitian Ilmiah, di sini.

B. Kriteria-Kriteria Pendekatan Ilmiah dan Nonilmiah dalam Pembelajaran

Berdasarkan hasil penelitian, pembelajaran  berbasis  pendekatan  ilmiah mempunyai hasil yang lebih efektif bila  dibandingkan  dengan penggunaan pembelajaran dengan pendekatan  tradidional.  Penelitian tersebut menawarkan bahwa pada  pembelajaran  tradisional, retensi  informasi  dari  guru  sebesar  10  persen sesudah 15 menit  dan  perolehan  pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi gosip dari  guru  sebesar  lebih  dari  90  persen  setelah  dua  hari  dan  perolehan  pemahaman  kontekstual sebesar 50-70 persen.

Proses  pembelajaran dengan  berbasis  pendekatan  ilmiah harus  dipandu  dengan  kaidah-kaidah pendekatan  ilmiah. Pendekatan  ini  bercirikan penonjolan  dimensi  pengamatan, penalaran, penemuan,  pengabsahan,  dan  penjelasan  tentang  suatu  kebenaran.  Dengan  demikian,  proses pembelajaran  harus  dilaksanakan  dengan  dipandu  nilai-nilai,  prinsip-prinsip,  atau  kriteria  ilmiah.

Sebuah proses pembelajaran yang digenjot oleh seorang guru di kelasnya akan sanggup disebut ilmiah bila proses pembelajaran tersebut memenuhi kriteria-kriteria berikut ini.
  1. Substansi atau bahan pembelajaran benar-benar menurut fakta atau fenomena yang sanggup dijelaskan dengan  logika  atau  penalaran  tertentu;  bukan  sebatas  kira-kira,  khayalan,  legenda,  atau cerita semata.
  2. Penjelasan  guru,  respon  peserta  didik,  dan  interaksi  edukatif  guru-peserta  didik harus terbebas dari  prasangka  yang  serta-merta,  pemikiran  subjektif,  atau  penalaran  yang  menyimpang  dari alur berpikir logis.
  3. Mendorong  dan  menginspirasi  peserta  didik  berpikir  secara  kritis,  analitis,  dan  tepat  dalam mengidentifikasi,  memahami,  memecahkan  masalah,  dan  mengaplikasikan  substansi  atau bahan pembelajaran.
  4. Mendorong  dan  menginspirasi  peserta  didik  mampu  berpikir  hipotetik  (membuat dugaan) dalam  melihat perbedaan,  kesamaan,  dan  tautan  satu dengan  yang lain  dari  substansi  atau  bahan pembelajaran.
  5. Mendorong  dan  menginspirasi  peserta  didik  mampu  memahami,  menerapkan,  dan mengembangkan  pola  berpikir  yang  rasional  dan  objektif  dalam  merespon  substansi  atau bahan pembelajaran.
  6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang sanggup dipertanggung-jawabkan.
  7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.

Kemudian, sebuah proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah yang mencakup intuisi, penggunaan pikiran sehat yang keliru, prasangka, inovasi melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis.

1. Intuisi.

Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan simpel yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar  pengalaman  dan  kecakapannya.  Istilah  ini  sering  juga  dipahami  sebagai  evaluasi terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik.

2. Akal sehat.

Guru dan penerima didik harus memakai pikiran sehat selama proses pembelajaran, lantaran memang hal itu sanggup membuktikan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun  demikian,  jika  guru  dan  peserta  didik  hanya  semata-mata  menggunakan  akal  sehat sanggup pula menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.

3. Prasangka.

Sikap,  keterampilan,  dan  pengetahuan  yang  diperoleh  semata-mata  atas  dasar  akal  sehat (comon sense) umumnya sangat besar lengan berkuasa dipandu kepentingan seseorang (guru, penerima didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika pikiran sehat terlalu besar lengan berkuasa didomplengi kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal  inilah  yang  menyebabkan  penggunaan  akal  sehat  berubah  menjadi  prasangka  atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, bila diolah secara baik. Sebaliknya akan menjelma prasangka jelek atau perilaku tidak percaya, bila diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan penerima didik.

4. Penemuan coba-coba.

Tindakan  atau  aksi  coba-coba  seringkali  melahirkan  wujud  atau  temuan  yang  bermakna. Namun  demikian,  keterampilan  dan  pengetahuan  yang  ditemukan  dengan  caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak mempunyai kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja,  tindakan  coba-coba  itu  ada  keuntungannya bahkan  mampu  mendorong kreatifitas.Karena itu,  kalau  memang  tindakan  coba-coba  ini  akan  dilakukan,  harus  diserta  dengan  pencatatan atas setiap tindakan, hingga dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang penerima didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba beliau kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol  yang  menyebabkan  komputer  laptop  itu  menyala  dan  mengulangi  lagi  tindakannya, hingga beliau hingga pada kepastian tanggapan atas tombol dengan lambang ibarat apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala. Baca juga perihal trial and error (penemuan coba-coba) di artikel ini.

5. Berpikir kritis.

Kamampuan  berpikir  kritis  itu  ada  pada semua  orang,  khususnya  mereka  yang normal  hingga  jenius.  Secara  akademik diyakini  bahwa  pemikiran  kritis  itu umumnya  dimiliki  oleh  orang  yang bependidikan  tinggi.  Orang  seperti  ini biasanya  pemikirannya  dipercaya  benar oleh  banyak  orang.  Tentu  saja  hasil pemikirannya  itu  tidak  semuanya  benar, karena  bukan  berdasarkan  hasil esperimen  yang  valid  dan  reliabel  lantaran pendapatnya  itu  hanya  didasari  atas pikiran yang logis semata. Baca perihal 10 Definisi Berpikir Kritis di sini. Contoh-Contoh Berpikir Kritis sanggup dibacadi sini. Baca juga 10 Keterampilan Berpikir Kritis Menurut Beyer.

Demikian goresan pena perihal esensi dan karakteristik pendekatan scientific (pendekatan ilmiah) yang ditonjolkan penggunaannya dalam proses pembelajaran di kelas pada implementasi Kurikulum 2013 dari blog PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dan Model-Model Pembelajaran.

Sumber: Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Karakteristik Pendekatan Scientific (Ilmiah) Dalam Kurikulum 2013"

Posting Komentar