Efektivitas Pembelajaran Inovasi (Discovery Learning)

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280

Efektifkah Model Pembelajaran Penemuan itu?

Apakah model pembelajaran penemuan (discovery learning) efektif  untuk diterapkan oleh para guru? Berikut yakni ulasan yang ditulis oleh Corno & Snow, 1986; Slavin, Karweit & Madden, 1989) wacana efektivtas discovery learning.

Umumnya para hebat psikologi dan pendidik setuju bahwa siswa harus memahami gosip ketika mempelajari sesuatu dan mengingatnya. Jika siswa hanya sekedar mengingat (menghafal) daftar-daftar dan fakta-fakta saja, maka akan terbentuk pemahaman superfisial dan dengan gampang akan dilupakan. Bila siswa bergulat dengan masalah-masalah nyata, menguji solusi-solusi yang mungkin, dan akhirnya  menemukan sendiri struktur mendasar suatu konsep kunci, mereka tampaknya akan lebih memahami dan mengingat gosip tersebut dengan baik. Akan tetapi, kritik-kritik terhadap model pembelajaran penemuan (discovery learning) telah membawa kita pada sebuah pertanyaan penting: Apakah discoveri learning (pembelajaran penemuan) itu efektif dilaksanakan?

Discovery Learning Sesuai dengan Teori Perkembangan Kognitif

Para pendidik yang menyukai discovery learning mencatat bahwa pendekatan/model/ metode ini konsisten dengan cara-cara seseorang mencar ilmu dan berkembang. Misalnya, Jerome Brunner (1966, 1971) mengidentifikasi 3 tahap perkembangan kognitif, menyerupai dengan 3 tahap yang diidentifikasi oleh Piaget. Brunner yakin bahwa belum dewasa berkembang dari tahap enaktif (enactive stage) ke tahap ikonic (iconic stage) dan berikutnya berkembang ke tahap simbolik (symbolic stage). Pada tahap enaktif (mirip dengan tahap sensori motor Piaget), belum dewasa merepresentasikan dan memahami dunia melalui aksi—untuk memahami sesuatu mereka harus memanipulasinya, mencicipinya, melemparnya, menghancurkannya, dan sebagainya. Pada tahap ik onik, belum dewasa merepresentasikan dunia dengan gambar-gambar—penampakan lebih dominan. Tahap ini berkoresponden dengan tahap berpikir praoperasional Piaget, di mana dicontohnya makin tinggi ketinggian air di dalam gelas, berarti bahwa ada lebih banyak air di dalam gelas itu, alasannya hal tersebut kelihatannya-penampakannya benar begitu. Hal ini terjadi tanpa mereka mempertimbangkan diameter gelas yang bisa saja berbeda dan air yang tampak tinggi belum tentu lebih banyak jumlahnya dibanding air yang terdapat di gelas lain. Pada tahap akhir, belum dewasa mulai sanggup memakai ide-ide abstrak, simbol, bahasa, dan budi untuk memahami dan merepresentasikan dunia. Aksi-aksi dan gambar-gambar masih sanggup dipakai dalam berpikir, tetapi tidak lagi bersifat dominan.

Discovery learning (pembelajaran penemuan) memungkinkan siswa untuk bergerak pada ketiga tahapan tersebut di atas ketika mereka berhadapan dengan informasi-informasi baru. Pertama-tama siswa akan memanipulasi dan berbuat sesuatu terhadap bahan-bahan; kemudian mereka akan membentuk gambar-gambar ketika mereka mencatat ciri-ciri khusus dan melaksanakan observasi. Karena siswa mengalami ketiga tahap tersebut di atas, Brunner yakin siswa akan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam wacana suatu topik. Saat siswa termotivasi dan benar-benar berpartisipasi di dalam proyek inovasi (discovery project), pembelajaran inovasi atau discovery learning akan membawa pada proses mencar ilmu yang sangat baik (Strike, 1975).

Discovery Learning Tak Dapat Dipraktikkan?

Pada teorinya, discovery learning kelihatan sangat ideal, tapi pada praktiknya terdapat permasalahan-permasalahan. Agar sukses, proyek inovasi (discovery project) seringkali membutuhkan bahan-bahan khusus dan persiapan yang ekstensif (luas), dan persiapan ini tidak sanggup menjamin akan adanya kesuksesan. Misalnya, suatu pembelajaran inovasi wacana imbas cahaya terhadap flora memerlukan waktu berjam-jam dan seringkali gagal alasannya flora yang ditanam di kawasan gelap dan di temapt terang tidak tumbuh sebagaimana yang diharapkan—ada sangat banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan selain cahaya (Anderson and Smith, 1987).

Agar pada situasi pembelajaran inovasi didapatkan benefit, siswa harus mempunyai pengetahuan dasar wacana problem yang akan dipelajari dan tahu bagaimana mengaplikasikan strategi-strategi pemecahan masalah. Tanpa pengetahuan dan keterampilan-keterampilan ini, mereka akan mengalah dan frustasi. Bukannya memperoleh pelajaran dari bahan-bahan tersebut, mereka justru akan bermain-main dengannya. Sedikit siswa yang brilian mungkin akan memperoleh “penemuan-penemuan”, sementara kebanyakan yang lainnya akan kehilangan minat dan menunggu secara pasif terhadap orang lain yang mungkin akan menuntaskan proyek inovasi itu. Alih-alih memperoleh laba dari klarifikasi guru yang terorganisasi dengan baik, justru siswa-siswa yang tak berhasil memperoleh “penemuan” ini akan mendapat klarifikasi yang keliru dari dari siswa-siswa yang tak sanggup mengkomunikasikan apa yang telah mereka “temukan” dengan bahasa yang tepat.

Para kritikus pembelajaran inovasi (discovery learning) yakin bahwa pembelajaran inovasi tidak efektif dan terlalu sulit untuk diorganisasikan. Pendapat ini tentunya akan sangat sempurna jikalau guru berhadapan dengan siswa-siswa dengan kemampuan rendah. Discovery learning mungkin tidak sempurna untuk mereka alasannya meminta terlalu banyak, sementara siswa-siswa tidak atau kurang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup dan keterampilan-keterampilan pemecahan problem yang diharapkan untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan discovery learning. Banyak hasil penelitian justru menawarkan bahwa model pembelajaran inovasi (discovery learning) tidak efektif dan bahkan melemahkan pada belum dewasa berkemampuan rendah.
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Efektivitas Pembelajaran Inovasi (Discovery Learning)"

Posting Komentar