ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Paris dan Sungai Seine dalam Puisi Prancis
Oleh : Dr. Danny Susanto, M. A
Dr. Danny Susanto, M. A
Fakultas Ilmu Budaya - Universitas Indonesia
Depok,Desember 2017
Abstrak
Paris, ibu kota Prancis mempunyai reputasi sebagai kota terindah dan romantis di dunia, penuh dengan asosiasi sejarah, dan sangat terkenal dalam budaya, seni, fashion, masakan dan desain. Berlabel kota yang bermandikan cahaya (la Ville Lumière) dan sentra kota Fashion, mempunyai banyak ikon menarik, menyerupai situs wisata yang paling banyak dikunjungi di dunia Menara Eiffel, Museum Louvre, Katedral Notre-Dame Arc de Triomphe mengakibatkan Paris sangat terkenal sebagai tujuan wisata di dunia dimana sekitar 45 juta wisatawan tiba setiap tahunnya.
Paris dengan sungai Seine telah mengilhami sejumlah penulis besar dan penyair dari seluruh dunia menyerupai Voltaire, Victor Hugo, Baudelaire, Hemingway yang telah mendapat sumber inspirasi mereka di Paris. Kota ini telah menaklukkan hati para penyair tersebut dan banyak karya sastra perihal kota ini dan Sungai Seine telah tercipta. Penyair-penyair tersebut termasuk Louis Aragon (1897-1982) (Paris), Maurice Careme (1899-1978) (menara Eiffel / la tour Eiffel), Gérard de NERVAL (1808-1855) (Notre Dame de Paris / Notre Dame of Paris), André Laude (1936-1995) (Parisscope), Jacques Charpentreau (1926-2016) (L'embouteillage / kemacetan kemudian lintas) dan mengilhami Guillaume Apollinaire (1880-1918) (jembatan Mirabeau / Le pont Mirabeau). Beberapa puisi memuliakan keindahan dan daya tarik kota termasuk monumen penting, sementara penyair lain menyesalkan kemacetan kemudian lintas dan polusi yang menyelimuti kota. Salah satu puisi menceritakan simpulan kisah cinta yang tidak bahagia. Citra terdiri dari tiga elemen (Seine, waktu dan cinta) yang mempunyai kesamaan: berlalu. Puisi-puisi tersebut secara paradoks terhubung dengan Jembatan Mirabeau, yang menandakan kestabilan.
Paris dan Sungai Seine dalam Puisi Prancis
Paris ibukota Prancis, ialah salah satu aglomerasi terbesar di Eropa dengan populasi 2,2 juta yang tinggal di tempat sentra dan 12 juta orang tinggal di sekitar wilayah metropolitan. Terletak di bab utara Perancis dan di tepi Sungai Seine, Paris mempunyai reputasi sebagai kota terindah dan romantis di dunia, penuh dengan asosiasi sejarah, dan sangat terkenal dalam bidang budaya, seni, mode, masakan dan desain. Berlabel kota yang bermandikan cahaya (la Ville Lumière) dan sentra kota Fashion, Paris mempunyai perancang fashion dan kosmetik terbaik dan termewah di dunia, menyerupai L'Oréal, Lancôme, Yves Saint-Laurent, Guerlain Chanel, Clarins, Dior, dll. Sebagian besar kota, termasuk Sungai Seine, ialah Situs Warisan Dunia UNESCO. Kota ini merupakan basis sejumlah restoran Michelin terbesar kedua di dunia dan mempunyai banyak ikon terkenal, menyerupai situs wisata yang paling sering dikunjungi di dunia Menara Eiffel, Museum Louvre, Katedral Notre-Dame Arc de Triomphe, Moulin Rouge, dan Lido, menjadikannya tujuan wisata paling terkenal di dunia di mana sekitar 45 juta wisatawan tiba setiap tahunnya.
Melintasi Paris di sepanjang sungai Seine dengan merasakan seribu petualangan di sungai, tepian sungai, jembatan dan pulau, siang dan malam, tepi kiri atau kanan sungai. Dengan perahu, berjalan kaki, bersepeda, bersantai-santai, berjalan kaki, atau bersantap, menari dan tentu saja berbelanja!
Beberapa tempat wisata sepanjang sisi sungai Seine meliputi: Pelabuhan Arsenal, Piscine Joséphine Baker, Jardin Tino-Rossi, penjual buku yang khas di tepi Sungai Seine, Dari Jembatan Royal hingga Jembatan Sully, Lapangan Vert-Galant, jembatan Paris Tiga puluh tujuh jembatan Paris menyampaikan panorama panorama kota yang terlihat dari sungai, Museum Orsay
Paris: dalam jejak para penulis besar
Paris dengan Sungai Seine telah mengilhami sejumlah besar penulis dan penyair dari seluruh dunia. Berkat Académie Française, Comédie Française dan Grande Sorbonne, Paris telah menjadi ibu kota sastra Prancis dan bersinar di seluruh Eropa. Penulis dan penyair legendaris seperti. Voltaire, Victor Hugo, Baudelaire, Hemingway telah menemukan sumber inspirasi mereka di Paris. Kota yang indah dan romantis ini telah menaklukkan hati para penyair ini dan banyak karya sastra mengenai kota ini telah diciptakan.
"Geliat Paris, menjaga jiwamu," begitu kata Victor Hugo. Banyak tempat di Paris yang menjadi titik pertemuan para penulis saling bertemu satu sama lain untuk saling berbagi dan menulis.
Latin Quarter di Paris, terdapat Quai Lanzun, di 17 Quai d'Anjou, tempat yang menampung "klub perokok ganja" di mana penyair termasuk Balzac atau Baudelaire sering menghabiskan waktu senggang mereka.
Latin Quarter di Paris, terdapat Quai Lanzun, di 17 Quai d'Anjou, tempat yang menampung "klub perokok ganja" di mana penyair termasuk Balzac atau Baudelaire sering menghabiskan waktu senggang mereka.
Di arondisemen ke-6, terdapat Café Procope (13 Ancienne Comedie street) kafe tertua di Paris tempat Franklin dan Voltaire menjadi pengunjung setia. Di Café de Flore atau Au deux magots (di Saint Germain des Pres, di seberang gereja) tempat gagasan filosofis dan subversif Sartre, Beauvoir, Camus, Vian dan Prévert lahir. Albert Camus pernah tinggal sebentar di Hotel Madison, 143 Boulevard Saint Germain.
Montparnasse, di Closerie des Lilas, sering dikunjungi oleh Hemingway yang menulis "The sun also rises" selama enam minggu. Bagi penulis Amerika ini, "Paris ialah sebuah pesta!"
Masyarakat yang ingin menyampaikan penghargaan kepada beberapa penulis terbesar, sanggup mengunjungi pemakaman Montparnasse di mana jasad Sartre, Beckett, Huysmans, Baudelaire dan Maupassant dimakamkan.
Paris dan sungai Seine dalam puisi
Berikut ialah beberapa puisi paling terkenal perihal Paris yang ditulis oleh beberapa penyair yang luar biasa: Kita memulai dengan Leouis Aragon (1897-1982) surealis, yang menulis puisi "Paris" pada usia 47. Ditulis dengan seksama dalam quintain, penyair tersebut mengagungkan kota Paris di baris pertama pada stanza pertama dan menggambarkannya sebagai kota dimana segala hal dalam keadaan baik-baik saja meski dalam masa-masa sulit.
Où fait-il bon même au coeur de l'orage
Où fait-il clair même au coeur de la nuit
(Dimanapun rasa nyaman bahkan di jantung badai
Dimanapun terasa jelas bahkan di jantung malam.)
Terlepas dari penderitaan dan penghinaan dan terlepas dari perang dan penghancuran akhir pendudukan Jerman, Paris tetap teguh:
« carreaux cassés l’espoir encore y luit « (Ubin yang pecah berharap masih bersinar di sana)
Kekuatan Paris selanjutnya diungkapkan dalam bait ketiga:
Rien n'a l'éclat de Paris dans la poudre
Rien n'est si pur que anak depan d'insurgé
Rien n'est ni fort ni le feu ni la foudre
Que mon Paris défiant les bahaya
Rien n'est si beau que ce Paris que j'ai.
(Tak ada kecemerlangan Paris dalam serbuk itu
Tak ada yang begitu murni menyerupai barisan pemberontaknya
Tak ada yang berpengaruh baik api maupun petir
Mungkinkah Paris ku menentang bahaya
Tidak ada yang seindah saya alami di Paris ini.)
Berbagi kekaguman Aragon mengenai kota Paris, Maurice Careme (1899-1978) seorang penyair asal Belgia juga menyampaikan penghormatannya kepada kota ini melalui puisinya: la tur Eiffel (menara Eiffel), memfokuskan pada monumen kota yang paling terkenal, menara Eiffel yang dibangun oleh Gustave Eiffel dalam kesempatan Pameran Universal Paris tahun 1889. Monumen ini telah menjadi simbol ibukota Prancis, dan salah satu lokasi wisata utama. Melalui puisinya, "la tour Eiffel" (menara Eiffel), ditulis dalam satu stanza tunggal dengan 18 baris, Careme memakai metafora untuk menggambarkan menara serta membandingkannya dengan jerapah di baris pertama.
Mais oui, je suis une girafe,
M'a raconté la tour Eiffel,
Et si ma tête est dans le ciel,
C'est menuangkan mieux brouter les nuages,
(Ya, saya jerapah,
Menara Eiffel mengatakannya kepada ku,
Dan kalau kepalaku ada di langit,
Lebih baik merumput di awan),
Careme juga mengangkat bermacam-macam aspek yang ditawarkan oleh kota Paris dan mereka yang berkunjung ke Paris selalu mempunyai beberapa hal yang perlu dilakukan, beberapa hal untuk dikagumi, beberapa hal untuk dinikmati. Sungai Seine juga muncul dalam puisi ini:
Mais j'ai quatre pieds bien assis
Dans une courbe de la Seine.
Di ne s'ennuie pas à Paris:
(Tapi saya mempunyai empat kaki yang kokoh
Di lekuknya Sungai Seine.
Kami tidak bosan di Paris.)
Pemujaan terhadap kelebihan monumen Paris juga digambarkan oleh Gérard deNERVAL (1808-1855) dalam puisinya "Notre Dame de Paris" yang memperlihatkan katedral gothik Prancis, Notre Dame di Paris), dibangun pada tahun 1345. Disusun dalam sektet ganda, puisi tersebut sebuah penghormatan terhadap monumen tersebut untuk daya tariknya yang berpengaruh yang sanggup diamati di baris pertama dan kedua dari stanza kedua:
Bien des hommes, tous les membayar de la terre
Viendront, tuangkan contempler cette ruine austère,
(Banyak orang dari banyak sekali negara di muka bumi
Akan datang, untuk merenungkan kehancuran yang dahsyat,)
Namun, penyair ini mengungkapkan kegelisahannya bahwa monumen ini tidak bertahan terhadap ujian waktu pada baris: 2, 3, 4, 5:
Mais, dans quelque mille ans, le Temps fera broncher
Comme un loup fait un bœuf, cette carcasse lourde,
Tordra ses nerfs de fer, et puis d'une dent sourde
Rongera tristement ses vieux os de rocher!
(Tapi dalam seribu tahun, Waktu akan bergemuruh
Seperti serigala menjadi seekor lembu, bangkai yang berat ini,
Akan memelintir saraf bajanya dan kemudian dengan gigi kusam
Akan mengkonsumsi tulang-tulang batunya yang renta!)
Di sisi lain, pada puisi "Pariscope", sebuah puisi yang disusun oleh penyair André Laude (1936-1995), dengan satu stanza yang cukup panjang berisi 23 baris, menentang dua aspek ibukota. Pertama, (pada baris 1 dan 2) beliau berbicara perihal monumen-monumen besar dan kemudian melanjutkan (baris 3) dengan senang hati orang-orang Paris berjalan di kota yang indah itu:
C'est la parade des grandands monuments
Tour Eiffel Notre-Dame
La foule va et vient baguenaude des Champs-Elysées à la Défense,
(Ini lah parade monumen besar
Menara Eiffel Notre-Dame
Kerumunan tiba dan pergi dari Champs-Elysees ke la Defense)
Tapi puisi itu tiba-tiba mengecam kehadiran kendaraan beroda empat dan polusi yang dihasilkannya (baris 7, 8, 9,10, 11, 12, 13):
Dans les voitures il y a des gens qui habitent
dans de grandes wisata le long des grands boulevards
dan sebagainya
et puis vont flarier le usang des quais
tuangkan oublier les fumées des usines
qui polluent la Seine
et tuent les légumes dans les jardins de banlieue.
(Di dalam kendaraan beroda empat terdapat orang yang tinggal
di menara besar sepanjang jalan-jalan besar
dan yang yang membeli seribu barang di toserba
dan kemudian pergi berjalan-jalan di dermaga
untuk melupakan asap pabrik
yang mencemari Sungai Seine
dan mematikan sayuran di kebun yang ada disekitarnya)
Penyair tersebut juga melaksanakan protes terhadap masyarakat konsumen, menentang berhala-berhala palsu masa kini, menentang dewi Mesir Karomama (baris 16 hingga 21):
Le métro conduit aux musées
on derrière les vitrines lumineuses
la reine Karomama asam avec ses lèvres orientales
et des jeunes mengisi rêveuses
vont acheter à la FNAC un album plein de photographies
de dieux et d'idoles qu'elles contemplent avec des yeux tristes
(Subway mengarah ke museum
tempat di balik cahaya pertunjukan
Ratu Karomama tersenyum dengan bibir orientalnya
dan gadis-gadis yang termenung
akan membeli di FNAC album yang penuh dengan foto
dewa dan berhala mereka renungi dengan mata suram)
Sisi kota Paris yang tidak menyenangkan ini juga dikemukakan dalam puisi L'embouteillage (kemacetan kemudian lintas), yang juga mempunyai satu stanza tunggal dengan 22 baris olehJacques Charpentreau (1926-2016) yang ia sesalkan tetang kemudian lintas padat yang diderita kota Paris:
Les voitures stoppent.
Blanches, grises, vertes, bleues,
Penyesalan à la queue leu leu,
Jaunes, rouges, beiges, noires,
Tortues têtues Tintamarre!
Karkas dan vos carapaces
Regardez-moi bien: je passe!
The cars stop.
(Putih, abu-abu, hijau, biru,
Kura-kura beriringan satu demi satu,
Kuning, merah, krem, hitam,
Kura-kura bising yang keras kepala!
Tetahan di cangkangmu
Lihatlah aku: saya lewat!)
Dan akhirnya, sungai Seine di Paris mengilhami Guillaume Apollinaire (1880-1918) untuk menulis puisi terkenalnya Le pont Mirabeau (jembatan Mirabeau) yang mengacu pada salah satu jembatan di kota tersebut. Puisi itu mempunyai 4 quatrain dan 4 kuplet. Ditulis sesudah perpisahannya dengan pelukis, Marie Laurencin, sang penyair menceritakan kisah cintanya yang berakhir dengan menyedihkan.
Le Pont Mirabeau
Sous le pont Mirabeau coule la Seine
Et nos amours
Faut-il qu'il m'en souvienne
La joie venait toujours après la peine
Vienne la nuit sonne l'heure
Les jours s'en vont je demeure
Les mains dans les mains restons face à face
Tandis que sous
Le pont de nos bras passe
Des éternels regards l'onde si lasse
Vienne la nuit sonne l'heure
Les jours s'en vont je demeure
L'amour s'en va comme cette eau courante
L'amour s'en va
Comme la vie est lente
Et comme l'Espérance est violente
Vienne la nuit sonne l'heure
Les jours s'en vont je demeure
Passent les jours et passent les semaines
Ni temps passé
Ni les amours reviennent
Sous le pont Mirabeau coule la Seine
Vienne la nuit sonne l'heure
Les jours s'en vont je demeure
Sous le pont Mirabeau coule la Seine
Et nos amours
Faut-il qu'il m'en souvienne
La joie venait toujours après la peine
Vienne la nuit sonne l'heure
Les jours s'en vont je demeure
Les mains dans les mains restons face à face
Tandis que sous
Le pont de nos bras passe
Des éternels regards l'onde si lasse
Vienne la nuit sonne l'heure
Les jours s'en vont je demeure
L'amour s'en va comme cette eau courante
L'amour s'en va
Comme la vie est lente
Et comme l'Espérance est violente
Vienne la nuit sonne l'heure
Les jours s'en vont je demeure
Passent les jours et passent les semaines
Ni temps passé
Ni les amours reviennent
Sous le pont Mirabeau coule la Seine
Vienne la nuit sonne l'heure
Les jours s'en vont je demeure
Jembatan Mirabeau
Di bawah Jembatan Mirabeau mengalir Sungai Seine
dengan semua cinta kami,
yang harus saya ingat,
sukacita selamanya mengiringi rasa sakit.
Malam membunyikan bunyi jam, hari berngganti, saya tetap sama.
Bergandengan tangan mari kita saling berhadapan
sementara di bawah
jembatan lengan kami berlalu
mata kami yang terkunci waktu dalam gelombang rasa malas.
Malam membunyikan bunyi jam, hari berlalu, saya tetap sama.
Dan cinta mengalir menyerupai air ini mengalir,
cinta mengalir,
tentu sebagai kehidupan menyeret,
Tentu sebagai kekuatan harapan.
Malam membunyikan bunyi jam, hari berlalu, saya tetap sama.
Hari-hari berganti menjadi ahad yang berlalu.
Tidak hanya waktu yang berlalu
atau cintaku yang kembali
Di bawah jembatan Mirabeau mengalir Sungai Seine.
Malam membunyikan bunyi jam, hari berlalu, saya tetap sama.
Meskipun gambaran yang dipakai Apollinaire di "jembatan Mirabeau" mungkin tampak sederhana, namun gambaran-gambaran tersebut diperbarui oleh penyair. Yang satu ini memecahkan struktur klasik perbandingan, biasanya terdiri dari yang dibandingkan dan pembanding. Di sini, gambaran terdiri dari tiga elemen (Sungai Seine, waktu dan cinta) yang mempunyai kesamaan: berlalu. Elemen-elemen tersebut secara paradoks terhubung dengan Jembatan Mirabeau, yang menggambarkan stabilitas. Masing-masing elemen ini pada dikala bersamaan sebagai pembanding dan yang dibandingkan di antara keduanya: penyair membuat perbandingan bergerak dan tidak tetap, berdasarkan tiga komponennya.
Apollinaire menyampaikan kita "The Mirabeau Bridge" sebuah puisi modern yang kokoh, terlepas dari penampilannya. Apollinaire mengambil tema dan termasuk puisi tradisional untuk peluncuran yang lebih baik terhadap gambaran terbalik dengan memperbaruinya. Penyair demikian setia pada pendekatan avant garde pada awal era ini yang menginginkan pemecahan puitis.
Kesimpulan
Paris dan Sungai Seine selalu menjadi sentra daya tarik pengunjung yang tiba dari seluruh dunia. Demikian pula, Paris dan Sungai Seine juga menjadi sumber inspirasi karya sastra termasuk puisi. Banyak penyair, baik Prancis maupun non Prancis telah menulis puisi legendaris dan menakjubkan perihal Paris dan Sungai Seine. Kebanyakan memuja keindahan kota termasuk monumen dan keanekaragamannya. Akan tetapi sebagian menyesalkan sisi negatifnya termasuk kemudian lintas, polusi dan konsumerisme rakyatnya. Sungai Seine secara khusus telah mengilhami Apolines untuk menceritakan perpisahannya dengan kekasihnya di salah satu karya besarnya, le pont Mirabeau (jembatan Mirabeau) menampilkan pemisahan ganda: pemisahan cinta dan pemisahan puitis yang membuktikan bahwa beliau ialah salah satu penggagas puisi avant-garde di masanya.
Referensi
Bancquart M-C. (1996) La poésie française du surréalisme à nos jours, Paris: Ellipses..
Delaveau P. (1988) La poésie française au tournant des années quatre-vingt. Paris: Corti.
Gleize J-M. (1992) A noir : poésie et littéralité : essai, Paris: Seuil.
Lepape P. (2003) Le Pays de la littérature, Paris: Seuil.
Maulpoix J-M. (2009) Du lyrisme, Paris: J. Corti.
Orizet J. (1988) Anthologie de la poésie française : les poètes et les oeuvres, les mouvements et les écoles. Paris: Larousse, 639.
Pinson J-C. (1995) Habiter en poète : essai sur la poésie contemporaine, Seyssel: Champ Vallon.
Reynaud-Paligot C. (2001) Parcours politique des surréalistes: 1919-1969: JSTOR.
Sapiro G. (2010) L'autonomie de la littérature en question. In: Martin J-P (ed) Bourdieu et la littérature. Nantes: Cécile Defaut, 45-61.
Speller JRW. (2011) Bourdieu and literature: Open Book Publishers.
Vercier B and Viart D. (2005) La littérature française au présent, Paris: Bordas.
Delaveau P. (1988) La poésie française au tournant des années quatre-vingt. Paris: Corti.
Gleize J-M. (1992) A noir : poésie et littéralité : essai, Paris: Seuil.
Lepape P. (2003) Le Pays de la littérature, Paris: Seuil.
Maulpoix J-M. (2009) Du lyrisme, Paris: J. Corti.
Orizet J. (1988) Anthologie de la poésie française : les poètes et les oeuvres, les mouvements et les écoles. Paris: Larousse, 639.
Pinson J-C. (1995) Habiter en poète : essai sur la poésie contemporaine, Seyssel: Champ Vallon.
Reynaud-Paligot C. (2001) Parcours politique des surréalistes: 1919-1969: JSTOR.
Sapiro G. (2010) L'autonomie de la littérature en question. In: Martin J-P (ed) Bourdieu et la littérature. Nantes: Cécile Defaut, 45-61.
Speller JRW. (2011) Bourdieu and literature: Open Book Publishers.
Vercier B and Viart D. (2005) La littérature française au présent, Paris: Bordas.
* Makalah ini dipersembahkan pada Seminar Internasional Sastra Indonesia, Banjarmasin, 6 s.d. 9 Desember 2017.
MAKALAH SASTRA : PARIS DAN SUNGAI SEINE DALAM PUISI PRANCIS OLEH Dr. DANNY SUSANTO,M.A (Fakultas Ilmu Budaya - Universitas Indonesia)..Terjemahan Dalam Bahasa Inggris lihat dan Baca Selengkapnya di sini!!
0 Response to "Makalah Sastra : Paris Dan Sungai Seine Dalam Puisi Prancis Oleh Dr. Danny Susanto,M.A (Fakultas Ilmu Budaya - Universitas Indonesia)"
Posting Komentar